Guru Honorer Nggak Butuh “Kado” dari Presiden, Tetap Menderita dengan Gaji yang Tak Manusiawi

0
6

Pengamat pendidikan menilai insentif untuk guru honorer sebesar Rp300 ribu di HUT ke-80 RI justru menghina dan tidak memuliakan profesi guru Non-ASN. Nyatanya, insentif yang diberikan oleh Presiden Prabowo Subianto sama sekali tak menyelesaikan masalah dan hanya menurunkan martabat mereka.

Presiden Prabowo Subianto lewat Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) bakal memberikan “kado” ke guru honorer di HUT ke-80 RI berupa insentif. Insetif itu diberikan untuk 12.500 guru yang menempuh jenjang pendidikan S1 lewat program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) di 112 perguruan tinggi.

“Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan guru, pemerintah memberikan insentif sebesar Rp300 ribu untuk 341.248 guru honorer, insentif untuk tujuh bulan, ditransfer langsung ke rekening masing-masing guru,” ujar Mendikdasmen Abdul Mu’ti di Jakarta dikutip dari Kementerian Sekretariat Negara RI pada Rabu (6/8/2025).

Tak hanya itu, pemerintah juga memberikan bantuan subsidi upah (BSU) bagi pendidik non-formal, serta bantuan afirmasi kualifikasi S-1/D-4 bagi guru pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD).

Namun, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai penggunaan narasi “kado dari Presiden” tidak tepat digunakan. Menurutnya, narasi tersebut membentuk kebohongan publik, politisasi, dan penyesatan informasi yang merendahkan martabat profesi guru.

Kesejahteraan guru adalah hak, bukan kado

JPPI mengecam penggunaan istilah “kado” atau “hadiah” yang dilekatkan pada upaya peningkatan kesejahteraan guru. Kesejahteraan guru, termasuk insentif dan bantuan studi, bukanlah belas kasihan atau program amal dari presiden.

“Ini adalah hak konstitusional guru yang wajib dipenuhi oleh negara dan pemerintah. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara tegas menyatakan bahwa guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial,” ujar Koordinator Nasional JPPI, Ubaid lewat keterangan tertulis yang diterima Mojok pada Kamis (7/8/2025).

Alih-alih sebagai kado, Ubaid menilai pemerintahan Prabowo justru melakukan upaya politisasi terhadap guru non-ASN. Mereka tak seharusnya menjadi alat kampanye atau pencitraan politik semata.

“Ini adalah bentuk penyesatan publik yang membahayakan, karena mengaburkan esensi bahwa kesejahteraan guru adalah kewajiban negara, bukan kemurahan hati penguasa. Kami melihat ini sebagai ‘prank’ yang tidak lucu dan sangat melukai perasaan para guru di seluruh Indonesia,” kata Ubaid.

Jumlah insentif yang menghina profesi guru honorer

JPPI juga menilai jika jumlah insentif untuk guru honorer sebesar Rp300 ribu per bulan tidaklah layak. Jumlah itu dinilai tidak manusiawi mengingat kehidupan guru honorer dan guru PAUD yang memprihatinkan. Selama ini, rata-rata gaji mereka jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR).

Mojok kerap membuat liputan soal guru honorer yang rela mengabdi meski dibayar dengan upah tak layak. Salah satunya, cerita seorang guru honorer di Ciamis, Jawa Barat yang hanya digaji sebesar Rp100 ribu. Kisahnya bisa dibaca di sini.

JPPI menganggap “kado” insentif senilai Rp300 ribu justru tampak seperti penghinaan terhadap profesi guru. Pemerintah, kata Ubaid, seharusnya dapat lebih menghargai profesi guru non-ASN dengan memperjelas status pengangkatan mereka. Sebab faktanya, selama ini status guru honorer maupun guru PAUD masih terkatung-katung. Status yang tidak jelas bisa berdampak pada kesejahteraan mereka.

“Bagaimana mungkin seorang profesional yang mengemban tugas mulia mencerdaskan bangsa dihargai dengan nominal sekecil itu? Ini bukan hanya tidak layak secara ekonomi, tetapi juga secara moral merendahkan harkat dan martabat profesi guru,” ujar Ubaid.

“Pemerintah seharusnya malu memberikan angka yang menunjukkan ketidakseriusan dalam memenuhi amanat undang-undang untuk menjamin penghasilan guru di atas kebutuhan hidup minimum,” lanjutnya.

Menuntut kualitas tapi guru nggak sejahtera 

Di sisi lain, pemerintah berharap kado di atas dapat meningkatkan kesejahteraan guru honorer, sehingga kualitas pendidikan di Indonesia dapat terjamin kemutuannya. Faktanya, banyak guru yang terpaksa berjuang keras hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, alih-alih fokus pada peningkatan kualitas pengajaran.

Berdasarkan data dari JPPI, banyak guru honorer yang sudah memiliki tunjangan sertifikasi tapi tidak dapat mencairkan hak mereka. Alasannya karena syarat administratif yang terlalu berbelit dan rumit. Apalagi, para guru yang berada di daerah 3T dan sekolah rakyat.

Menurut Ubaid, faktor itu juga yang menjadi alasan guru frustasi dan terpaksa mundur. Mereka lebih memilih untuk merelakan tunjangan kesejahteraan yang tidak bisa dicairkan tiap bulan. Dengan demikian, JPPI mendesak pemerintah untuk menghentikan upaya-upaya politisasi seperti narasi “kado” tadi.

“Tapi mulailah menunjukkan komitmen nyata dalam memenuhi hak-hak guru sesuai amanat undang-undang. Kesejahteraan guru adalah hak yang wajib ditunaikan Presiden dan juga investasi masa depan bangsa, bukan beban anggaran,” kata Ubaid.

“Sudah saatnya negara menciptakan tata kelola guru yang berkualitas, sistematis, dan berkeadilan, tanpa syarat administratif yang memberatkan dan tanpa mendegradasi martabat profesi mulia ini,” lanjutnya.

mojok.co

Comments are closed.