
Guru Bukan Beban Negara jika Pendidikan Dipahami sebagai Investasi Berkelanjutan
Para guru menilai, pemerintah belum serius memperjuangkan nasib guru. Tak hanya soal kesejahteraan, tetapi juga mutu dan perlindungan pendidik.
Dunia jagat maya boleh saja terus meributkan apakah negara ini betul menganggap guru sebagai beban atau bukan beban negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang merasa ucapannya di video yang tersebar secara digital mengklarifikasi ucapannya bahwa guru beban negara sebagai hoaks atau rekayasa digital yang tak sesuai kenyataan.
Sebaliknya, para guru merasa inilah kenyataan guru-guru di Indonesia. Para guru merasa pemerintah belum sungguh-sungguh memperjuangkan nasib guru, tak hanya dari kesejahteraan, tetapi juga peningkatan kualitas, hingga perlindungan guru.
Bahkan di media sosial, muncul sejumlah lagu yang membandingkan nasib guru dengan pejabat atau wakil rakyat di negeri ini yang bergelimang fasilitas, tapi tetap tergoda korupsi. Sebaliknya, guru diminta mengabdi sepenuh hati mencerdaskan bangsa, tetapi penghargaan yang didapat tak seberapa.
Di kanal Youtube Kilau Studio Widayat, mengemuka lagu yang terinspirasi dari guru beban negara. ”Ialah manusia paling berjasa, gaji tak seberapa, sungguh lelahnya. Ilmu yang kau ajarkan, sangat berguna, memberi kecerdasan di negeri kita. Gaji guru itu bukan beban, sepantasnya bila dinaikkan. Sang pengajar butuh kemakmuran, bukan hanya untuk pejabat”.
Sementara di akun Youtube Faldiansyah, para guru juga menolak dikatakan sebagai beban. ”Kami guru bukan beban, kalianlah yang merugikan. Guru berdiri penuh pengabdian, kalian sibuk ambil keuntungan.”
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://cdn-dam.kompas.id/images/2025/06/17/ab5992138043d82c45739a3d6c883e26-FAK_9214.jpg)
Dengan nada rap mengemuka lirik, ”This is Faldiansyah. Guru bukan beban daripada tikus yang merugikan. Guru berjuang demi masa depan, mereka korupsi tanpa beban. Guru pelita kehidupan, kalian rakus penuh tipuan. Guru penuh keihlasan, kalian joged-jogedan.”
Banyak guru, seperti guru madrasah, harus menunggu antrean puluhan tahun untuk mendapatkan sertifikasi dan tunjangan profesi. Ini sebuah fakta ironis di tengah klaim pemerintah tentang perhatiannya pada pendidikan.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji di Jakarta, Kamis (21/8/2025), mengatakan sah saja ada klarifikasi video guru beban negara yang seakan-akan diucapkan Menkeu Sri Mulyani sebagai hoaks.
Namun, tetap inti dari narasi tentang guru dan dosen yang disampaikan Sri Mulyani di pembukaan Kovensi Sains, Teknologi, dan Industri perlu dipertanyakan. Sri Mulyani menyatakan, ada tantangan keuangan negara untuk guru dan dosen. Bahkan, mempertanyakan, apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat.
Ubaid mengatakan, jika negara merasa terbebani, masalahnya bukan pada keberadaan guru, melainkan pada alokasi anggaran pendidikan yang tidak tepat sasaran dan maraknya korupsi.
Sebagai contoh, dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2026, negara lebih memprioritaskan program-program nonpendidikan seperti Program Makan Gratis (MBG) yang kontroversial, daripada mengalokasikan dana untuk peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru.
”Akibatnya, banyak guru, seperti guru madrasah, harus menunggu antrean puluhan tahun untuk mendapatkan sertifikasi dan tunjangan profesi. Ini sebuah fakta ironis di tengah klaim pemerintah tentang perhatiannya pada pendidikan,” papar Ubaid.
Tak sebatas kesejahteraan
Ubaid menegaskan kembali, pihak yang benar-benar membebani negara bukanlah para guru yang berjuang di garda depan pendidikan, melainkan para pejabat yang tidak berintegritas dan melakukan korupsi uang rakyat.
”Mereka sudah mendapat fasilitas mewah, tapi tetap melakukan korupsi. Anehnya, kelakuannya kayak gini, masih dapat gaji sampai mati alias uang pensiun. Anggaran pendidikan yang seharusnya untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan mutu pengajaran, justru habis karena korupsi, membuat negara sulit memenuhi kewajiban konstitusionalnya,” tuturnya.
:quality(80)/https://cdn-dam.kompas.id/photo/ori/2022/11/24/61bed023-3999-4a2e-8d23-75ec57367dc2.png)
Dalam webinar bertajuk ”Refleksi Kritis Pemenuhan Hak Pendidikan”, Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri mengutarakan, soal guru yang perlu mendapat perhatian negara tak hanya kesejahteraan. Ada empat pilar lain terkait guru yakni kompetensi, perekrutan, distribusi, dan perlindungan guru.
Dhitta Puti Saravasti, salah satu pendiri Gerakan Nasional Buta Matematika dan gerakan nasional Buta Membaca, mengatakan kenyataan di lapangan perlu dukungan kuat untuk mengawal para guru, khususnya di jenjang sekolah dasar (SD).
”Para guru perlu didampingi untuk memperkuat kompetensi amat mendasar. Misalnya pada pendidikan Matematika, banyak guru SD sulit menggambarkan bagaimana proses 10 dikurangi empat, tapi hasilnya bisa. Guru bingung, harus diapakan, dicoret atau bagaimana. Di bidang membaca, ada guru baru tahu perlunya keterampilan bertanya,” kata Puti.
Ditambah lagi, masih banyak guru belum tersentuh pendidikan dan pelatihan guru berkualitas untuk meningkatkan kapasitas pengajaran. ”Bukan guru malas belajar, tapi karena tak pernah secara serius dikenali kebutuhannya dan difasilitasi,” ujar Puti yang juga dosen pendidikan Matematika.
:quality(80)/https://cdn-dam.kompas.id/photo/ori/2021/12/20/IMG-20211215-WA0105_1639995131.jpg)
Pengakuan pentingnya mendukung guru secara berkelanjutan dan peran vital guru memastikan layanan pendidikan bermutu untuk semua terungkap dalam dalam peringatan Hari Guru Internasional pada 5 Oktober 2024.
Badan Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menggarisbawahi bahwa guru menjadi jantung dari upaya pemulihan pendidikan akibat pandemi Covid-19 yang menyebabkan penutupan sekolah selama 18 bulan.
Oleh karena itu, pemerintah dan komunitas internasional diminta untuk fokus pada guru yang menghadapi tantangan dalam menjalankan profesinya dan berbagai respons kebijakan yang efektif.
Sebenarnya Presiden Prabowo Subianto di acara puncak peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2024 telah menyampaikan penghormatan mendalam kepada para guru. Presiden menekankan bahwa guru adalah pilar utama pembangunan bangsa, dan pendidikan adalah kunci kebangkitan Indonesia.
:quality(80)/https://cdn-dam.kompas.id/photo/ori/2023/03/06/7f7d1d9d-5656-41d1-a9b6-927530ee5969.jpg)
”Bagi saya, guru adalah kunci bagi kebangkitan bangsa Indonesia. Guru bagi kita semua adalah tonggak berdirinya sebuah negara. Negara yang berhasil adalah negara yang pendidikannya berhasil,” ujar Presiden di hadapan ribuan guru yang hadir.
Oleh karena itu, menurut guru blogger Wiajaya Kusumah atau akrab dipanggil Omjay, sudah seharusnya pendidikan, termasuk guru, tak dianggap sebagai beban negara. ”Pendidikan bermutu untuk semua adalah janji kemerdekaan yang harus ditepati,” tuturnya.
”Pendidikan merupakan investasi terbesar bangsa. Dari ruang kelas sederhana bisa lahir pemimpin besar. Dari guru yang ikhlas, maka lahir generasi emas,” kata Omjay menambahkan.
Pada 28-29 Agustus 2025 mendatang di Chile, UNESCO menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia tentang Guru. Konferensi tersebut rencananya akan membahas antara lain, tantangan global terkait kekurangan guru dan mengadvokasi dukungan berkelanjutan bagi guru.
:quality(80)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2020/12/13/20201212-KID-Pendidikan1-mumed_1607792607_png.png)
Agenda pembahasan lainnya, yakni menghargai profesi tersebut dalam konteks ekonomi dan sosial-politik yang penuh tantangan. Konferensi tersebut diselenggarakan bersamaan dengan Pertemuan Para Pemimpin Komite Pengarah Tingkat Tinggi SDG4 Pendidikan 2030.
Pertemuan ini akan mendorong komitmen pemerintah semua negara untuk serius mendukung investasi berkelanjutan guna mengatasi kekurangan guru dan meningkatkan status profesi. Itu termasuk menganalisis tantangan dan peluang digitalisasi dan kecerdasan buatan bagi profesi guru.
Diyakini, guru yang terlatih, didukung, dan dihargai, amat penting demi memastikan pendidikan bermutu bagi semua. Namun, di seluruh dunia ada defisit 44 juta guru. Banyak guru kurang memenuhi kualifikasi dan minim pelatihan dasar, untuk mengimbangi perubahan pendidikan.
”Kami bekerja sama dengan berbagai negara untuk meningkatkan ketersediaan guru yang bermutu dan termotivasi dengan meningkatkan kebijakan yang berkaitan dengan mereka dan mendukung pelatihan bermutu yang memenuhi kebutuhan peserta didik,” kata Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay.