Anggaran Pendidikan Disandera Program MBG, JPPI Menilai DPR dan Pemerintah Khianati UUD

0
19

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai keputusan pemerintah dan DPR RI yang tetap menjadikan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai prioritas dalam RAPBN 2026 telah mengkhianati amanat UUD 1945. Pasalnya, program yang diklaim untuk meningkatkan gizi anak ini justru menyedot anggaran pendidikan dalam jumlah besar dan menimbulkan korban keracunan massal.

Data JPPI menunjukkan, kasus keracunan akibat MBG terus melonjak dalam sepekan terakhir. Per 14 September 2025 tercatat 5.360 anak menjadi korban, dan jumlah itu bertambah menjadi 6.452 anak pada 21 September 2025.

Artinya, dalam satu minggu ada tambahan 1.092 anak yang terdampak. Baca Juga: DPRD Bandung Barat Desak Evaluasi Total Program MBG, Kasus 364 Siswa Keracunan Jadi Alarm Keras Menurut JPPI, kondisi ini seharusnya sudah ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan penghentian sementara program untuk evaluasi menyeluruh.

Namun, DPR justru mengesahkan RAPBN 2026 dengan alokasi Rp 335 triliun untuk MBG, termasuk Rp 223 triliun yang diambil dari pos pendidikan.

Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengatakan, keputusan tersebut bukan sekadar kebijakan keliru, melainkan pengkhianatan konstitusi sekaligus tindakan yang memporak-porandakan sektor pendidikan. Ia menilai pemerintah dan DPR menutup mata atas masalah serius yang sudah terjadi.

Lima doa besar Menurut Ubaid, JPPI mencatat setidaknya ada lima dosa besar dalam kebijakan MBG. Pertama, pemerintah dan DPR mengkhianati UUD 1945 Pasal 31 ayat 4 yang mengamanatkan 20 persen APBN untuk pendidikan.

“Setelah dipangkas Rp223 triliun, porsi pendidikan dalam APBN 2026 tinggal 14 persen,” katanya, Rabu, 24 September 2025.  Kedua, hak anak atas pendidikan diabaikan.

Ubaid menilai klaim pemerintah bahwa anggaran pendidikan naik menjadi Rp 757,8 triliun tidak lebih dari ilusi. Sebab, sebagian besar dana itu justru tersedot untuk MBG. Akibatnya, putusan Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-XXII/2024 tentang sekolah gratis belum juga bisa dijalankan.

Ketiga, kebutuhan dasar pendidikan semakin terabaikan. Ubaid menegaskan bahwa meski gizi penting, perbaikan sekolah rusak, ketersediaan sarana penunjang, dan peningkatan kesejahteraan guru harus diprioritaskan. Saat ini, lebih dari 60 persen bangunan sekolah dasar rusak, jumlah sekolah menengah tidak mencukupi, dan jutaan guru belum tersertifikasi maupun sejahtera.

Keempat, sejak awal MBG sarat konflik kepentingan politik dan ekonomi. Dengan alokasi jumbo Rp 335 triliun tanpa pengawasan ketat, program ini berpotensi besar menjadi ladang korupsi. “Alih-alih menyehatkan, MBG justru mengancam keselamatan anak dan bisa berubah menjadi proyek rente,” kata Ubaid.

Kelima, aspirasi publik diabaikan. Alih-alih menghentikan program bermasalah ini, DPR justru ikut mengamini langkah pemerintah. Menurut Ubaid, masyarakat diperlakukan seolah tidak punya suara atas keselamatan anak-anak mereka sendiri. Tetapkan status KLB Atas dasar itu, Ubaid menuntut agar pemerintah segera menetapkan status KLB atas kasus keracunan MBG.

Program tersebut diminta dihentikan sementara untuk evaluasi menyeluruh, termasuk mengakhiri praktik pengalihan anggaran pendidikan ke program makan gratis.

Sebagai Kejadian Luar Biasa Ia juga mendesak agar Rp223 triliun yang diambil dari pos pendidikan dikembalikan untuk kebutuhan esensial, seperti peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru, perbaikan infrastruktur sekolah, serta akses pendidikan gratis.

Selain itu, Ubaid menegaskan pentingnya melibatkan masyarakat sipil dalam perumusan kebijakan anggaran. “DPR dan Pemerintah bersama-sama telah mengkhianati UUD 1945. Mereka merampas hak anak Indonesia atas pendidikan dan memporak-porandakan masa depan bangsa demi proyek populis bernama MBG,” kata Ubaid Matraji. ***

pikiran.com

Comments are closed.