Mengapa Ratusan Guru Sekolah Rakyat Mengundurkan Diri

0
48
Peristiwa mundurnya seratusan guru Sekolah Rakyat itu menjadi peringatan atas gagalnya desain kebijakan penempatan.
Sebanyak 160 guru Sekolah Rakyat di seluruh Indonesia memutuskan mengundurkan diri. Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengatakan pengunduran diri mereka lantaran penempatan lokasi mengajar yang jauh dari rumah.

Namun, dia mengklaim pemerintah telah memiliki solusi untuk mengatasi banyaknya guru Sekolah Rakyat yang mundur. Sebab, kata dia, pemerintah sudah menyiapkan guru cadangan untuk mengajar di Sekolah Rakyat.

Dia mengklaim masih ada sekitar 50 ribu guru yang menunggu antrean penempatan mengajar. Gus Ipul mengatakan guru-guru itu kini dalam proses pendidikan profesi. “Ada banyak guru yang siap menggantikan, karena ada lebih dari 50 ribu guru yang mengikuti proses pendidikan profesi guru belum ada penempatan,” kata Gus Ipul.

Pengamat kebijakan publik sekaligus pendiri Nalar Institute Yanuar Nugroho menilai peristiwa mundurnya seratusan guru Sekolah Rakyat itu menjadi peringatan atas gagalnya desain kebijakan penempatan. Menurut dia, kebijakan yang ditentukan oleh sistem administratif Badan Kepegawaian Negara itu terlalu sentralistik.

“Kebijakan penempatan itu juga mengabaikan realitas sosial-geografis,” kata dia saat dihubungi pada Ahad, 27 Juli 2025.

Penentuan lokasi mengajar guru Sekolah Rakyat dilakukan tanpa mempertimbangkan domisili, kapasitas mobilitas, dan aspirasi personal. Hal ini dinilai menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian antara kebutuhan pendidikan di daerah dan kesiapan individual guru.

“Dari perspektif kebijakan publik, masalah ini mencerminkan kegagalan ganda, yaitu absennya mekanisme partisipatif dan lemahnya koherensi lintas sektor,” ujarnya.

Yanuar mengatakan seharusnya kebijakan penempatan tenaga pengajar di Sekolah Rakyat melibatkan partisipasi guru dan pemerintah daerah. Karena itu, dia berujar guru yang melamar menjadi tenaga pengajar di Sekolah Rakyat harusnya diberikan ruang pilihan lokasi.

Yanuar juga mengkritik respons pemerintah yang menyebut telah menyiapkan guru cadangan pengganti. Menurut dia, pernyataan itu memperlihatkan cara pandang yang sempit dan teknokratis.

Pemerintah, ujar dia, seolah hanya memandang masalah ini hanya perihal suplai. Padahal, kata dia, relasi sosial antara guru dan komunitas tempat mengajar jauh lebih penting.

Dia mendorong agar pemerintah segera memperbaiki arsitektur kebijakan penempatan guru Sekolah Rakyat secara menyeluruh. “Tanpa koreksi serius dan perubahan cara pandang terhadap guru, Sekolah Rakyat hanya akan jadi proyek di atas kertas yang kehilangan makna,” katanya.

Kritik serupa juga diutarakan oleh Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia atau JPPI Ubaid Matraji. Dia menilai ada pengabaian dari pemerintah ihwal kebijakan penempatan guru yang menyebabkan ratusan dari mereka mengundurkan diri. “Pemerintah seolah menutup mata terhadap fakta bahwa penempatan guru yang jauh adalah gejala dari masalah yang lebih besar,” ujarnya saat dihubungi pada Ahad, 27 Juli 2025.

Penempatan guru seharusnya dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan sosial-ekonomi lokal. Pemerintah daerah musti dilibatkan dalam penentuan penempatan guru Sekolah Rakyat. “Pemerintah pusat tidak bisa memaksakan penempatan berdasarkan sistem yang seragam untuk seluruh wilayah. Data dan informasi dari daerah krusial untuk penempatan yang efektif,” kata Ubaid.

Selain itu, dia menilai guru juga harus dilibatkan secara aktif dalam proses penentuan penempatan. Pelibatan ini bisa dilakukan lewat mekanisme konsultasi dan survei preferensi. Tujuannya, kata Ubaid, menyalurkan aspirasi para guru sehingga tercipta rasa kepemilikan dan komitmen terhadap program Sekolah Rakyat.

Ubaid khawatir program Sekolah Rakyat ini hanya dijadikan proyek coba-coba. Hal ini berimbas pada siswa dari kalangan miskin yang seolah menjadi kelinci percobaan proyek pemerintah.

Padahal, kata Ubaid, seharusnya anak-anak dari golongan tak mampu itu mendapatkan pendidikan terbaik. “Mereka justru kian terpinggirkan oleh kebijakan yang seharusnya mengangkat mereka. Sistem yang sekarang tidak berkeadilan,” ucapnya.

Tempo.com

Comments are closed.