Waspadai Celah Korupsi Dalam Penerimaan Murid Baru

0
672

Jakarta — MENJELANG tahun ajaran baru, sekolah biasanya sudah mulai melakukan seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Seperti biasa, praktek-praktek korupsi dalam PPDB ini seringkali banyak diabaikan oleh masyarakat, pemerintah maupun penegak hukum tetapi cukup meresahkan orang tua dan pegiat pendidikan karena maraknya praktek-praktek yang tidak transparan dan akuntabel di dalam pelaksanaannya.

“Karena itu kami dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bersama ICW membuka Pos Pemantauan PPDB 2018 agar orang tua atau masyarakat yang menemukan praktek curang dalam penerimaan siswa baru berupa pungutan-pungutan yang tidak berdasar, bisa dilaporkan kepada kami,” kata Ubaid, Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia saat diskusi media di Kantor ICW, Jakarta, hari ini.

Menurut dia dalam prakteknya, celah-cela korupsi di dalam PPDB ini ada beberapa bentuk yang bisa juga sangat sulit diendus. Apalagi karena siifatnya seola-olah legal membuat orang tua murid cenderung mengabaikannya saja.

“Padahal kalau kita merujuk pada Permendikbud No 44 tahun 2012 itu tentang pungutan dan sumbangan biaya pendidikan apa pun itu bentuknya tidak dibebankan lagi pada orang tua. Jadi ketika sekolah masih membebankan pungutan itu sudah korupsi dan biasanya marak terjadi saat penerimaan murid baru,” ungkap Ubaid.

Beberapa modus yang biasa terjadi kata dia misalnya dalam bentuk jual beli bangku untuk masuk menjadi murid di suatu sekolah. Merujuk pada aturan Mendukbud kata dia sekolah misalnya harus memberikan kuaota khusus pada anak-anak disabilitas dan anak dari keluarga tidak mampu.

“Dan system kuota ini dalam prakteknya bisa dikapitalisasi dengan system jual beli bangku. Yang harusnya untuk kuota orang miskin dan disabilitas bisa dibeli oleh orang yang mampu. Ini banyak terjadi,” jelas Ubaid.

Seringkali dengan modal Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTN) yang mudah didapatkan seseorang bisa masuk menjadi murih dengan mengambil jatah orang miskin. “Padahal SKTN kita tahu bisa diperalat. Kenapa tidak pakai bukti kartu Jakarta pintar misalnya atau kartu pemegang keluarga harapan yang memang sudah tervalidasi data-datanya? Ini yang sering terjadi,” katanya.

Terpisah, Koordinator Komunitas Gerakan Sayang Anak Nusantara, Setiana Widjaja mengharapkan agar sekolah-sekolah di seluruh Indonesia perlu memastikan siswa-siswa yang masuk sekolah benar-benar melalui proses seleksi yang transparan dan akuntabel.

“Kita tidak ingin pola-pola curang menjadi catatan hitam pendidikan kita. Anak-anak Indonesia berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan itu dimulai dari proses seleksi yang baik dan benar, jujur serta kredibel,” kata Setiana. (OL-5)

Leave a reply