TNI & Kampus Dunia Berbeda, Menteri ‘Lupa’ Fungsi Akademik

0
115

Mendiktisaintek mewajarkan kehadiran TNI di kampus. Pengamat menilai hal ini ancaman kebebasan institusi pendidikan sebab kehadirannya dapat mengintimidasi.

Kehadiran militer atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) di ruang-ruang akademik seolah menjadi hal yang wajar bagi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Mereka bahkan memandang perguruan tinggi perlu bersifat terbuka kepada pihak manapun, termasuk bagi TNI, dalam konteks melakukan riset, inovasi, dan kerja sama.

“Jadi sekali lagi dalam konteks itu tentu Kemendiktisaintek menyampaikan kampus itu tempat terbuka, karena justru dengan keterbukaan dengan kerja sama berbagai pihak permasalahan-permasalahan untuk riset inovasi itu menjadi lebih luas,” ujar Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Brian Yuliarto, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dikutip dari Antara, Kamis (24/4/2025).

Brian menjelaskan sudah banyak contoh kerja sama yang dijalin perguruan tinggi dengan sejumlah pihak termasuk TNI. Termasuk Universitas Udayana (Unud) yang sudah menjalin kerja sama dengan TNI AD Komando Daerah Militer IX/Udayana. Kerja sama itu tertuang dalam dokumen perjanjian Nomor B/2134/UN14.IV/HK.07.00/2025, yang ditandatangani pada Rabu (5/3/2025) lalu.

Beberapa poin ruang lingkup kerja sama antara Universitas Udayana dan Kodam IX/Udayana mencakup peningkatan sumber daya manusia, pertukaran data dan informasi, hingga pelatihan bela negara. Di luar Unud, Brian mengatakan kerja sama yang dijalin perguruan tinggi dengan sejumlah pihak itu juga meliputi berbagai hal, termasuk pengajaran.

“Sudah banyak berjalan sebenarnya ya, beberapa mitra-mitra kampus tidak hanya dari TNI juga dari kalangan industri. Dari kalangan profesional lainnya itu tentu bisa terlibat dalam proses pengajaran dan juga tidak kalah penting, dalam proses penelitian-penelitian,” jelas Brian.

Sikap menteri yang seolah-olah mendukung atau mewajarkan TNI masuk ke kampus hingga dapat mengajar tersebut amat disayangkan oleh sejumlah pihak. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, salah satu yang cukup vokal.

“JPPI kecewa dengan pernyataan mendikti (Brian Yuliarto),” ujar Ubaid kepada Tirto, Kamis (24/4/2025).

Menurut Ubaid, seharusnya menteri paham bahwa kehadiran TNI di kampus ini bisa jadi teror dan intimidasi bagi kritisisme kampus. Ini bagian dari cara militerisme dalam mengkooptasi kampus. Bahkan ia khawatir, TNI bisa diangkat jadi rektor di kemudian hari.

“Ini sangat mungkin, apalagi partisipasi publik ditutup rapat untuk hal-hal yang terkait TNI ini. Diperbolehkannya TNI ke kampus ini menimbulkan beberapa pertanyaan mendasar dan potensi dampak yang perlu dipertimbangkan secara matang,” jelas dia.

Dari segi kapasitas, kata Ubaid, tugas pokok TNI adalah menjaga kedaulatan negara dan keutuhan wilayah. Maka, ketika mengerahkan personel TNI untuk mengajar di kampus bisa mengalihkan fokus dan sumber daya dari tugas utama mereka.

Sekalipun, anggota TNI memiliki keahlian di bidang tertentu –misalnya kepemimpinan, strategi, dan bela negara, namun jelas mereka tidak memiliki kompetensi pedagogis dan substansi keilmuan yang mendalam sesuai dengan standar akademik di berbagai disiplin ilmu. Karena proses belajar-mengajar yang efektif membutuhkan keahlian khusus dalam menyampaikan materi, memfasilitasi diskusi, dan mengevaluasi pemahaman mahasiswa.

Militer Masuk Kampus, Ancaman Bagi Berpikir Kritis dan Demokrasi

Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, justru melihat ini menjadi persoalan, ketika Mendiktisaintek justru tidak memahami tugas dan fungsi utama dari kampus. Kampus sebagai institusi pendidikan penting untuk menjaga kebebasannya.

“Kampus memiliki otonomi dalam rangka mempertahankan perannya sebagai institusi yang menghasilkan ilmu pengetahuan secara kritikal, dan itu sangat jauh dari dimensi apa yang dimiliki TNI,” jelas Satria, kepada Tirto, Kamis (24/4/2025).

TNI dengan sifat komando dan langkah-langkah taktisnya memiliki dua dimensi yang berbeda dengan kehidupan kampus. Sehingga apa yang disampaikan oleh Mendiktisaintek seolah tidak memahami konteks akar persoalan yang dialami hari-hari ini, khususnya setealh sahnya Undang-Undang TNI.

“Kampus harus steril dalam pandang betik dari infiltrasi atau peran-peran militer sehingga ketika berbicara dalam rangka aktivitas tridharma, kemudian apa-apa yang dihasilkan oleh aktivitas kampus betul-betul tanpa rasa takut,” jelas dia.

Sementara Ketua Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia, Herianto, menilai kehadiran TNI masuk kampus ini adalah masalah serius bagi independensi perguruan tinggi. Langkah ini sebagai bentuk normalisasi militerisme di ruang akademik, yang rawan digunakan untuk meredam gerakan mahasiswa dan membatasi kebebasan berpikir.

Menurutnya, kehadiran TNI di kampus tidak memiliki relevansi langsung dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya, hal ini justru berpotensi menciptakan iklim ketakutan, membunuh daya kritis, dan mempersempit ruang diskusi ilmiah yang bebas dan otonom.

“Kami rasa isu ini genting karena menyentuh inti dari kebebasan akademik hak untuk berpikir, menyampaikan pendapat, dan mengkritik tanpa tekanan. Ketika militer masuk kampus, yang terancam bukan hanya mahasiswa, tapi juga masa depan pendidikan kritis dan demokratis di Indonesia ini,” jelas dia kepada Tirto, Kamis (24/4/2025).

Mendiktisaintek Harus Belajar Sejarah

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, memandang sang menteri sepertinya memang tidak memahami sejarah kelam keterlibatan militer di lingkungan pendidikan tinggi. Sebab, masuknya TNI ke kampus bahkan hingga mengajar adalah desain dari Orde Baru untuk normalisasi kehidupan kampus.

“Jadi kita punya sejarah panjang pembelajaran, bahwa tentara masuk kampus itu bukan tujuan untuk mengajar seperti itu, tapi untuk justru menghambat kebebasan akademik, menghambat kebebasan berekspresi dan justru ini sungguh bahaya dan mengancam. (Hal ini) bisa menyebabkan runtuh atau tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi,” jelas Isnur kepada Tirto, Kamis (24/4/2025).

Oleh sebab itu, dia menyarankan sebaiknya menteri tersebut membaca kembali dokumen-dokumen sejarah. Mulai dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau TAP MPR pemisahan TNI Polri, sampai dengan penghapusan Dwifungsi Abri. “Jadi menteri, saya anjurkan dan sarankan untuk membaca dokumen-dokumen sejarah,” ujar dia.

Aksi Kamisan Menolak Militer

Isnur menekankan, di dalam Undang-Undang TNI, mandat, peran, dan tugas profesionalisme TNI sudah jelas untuk pertahanan dan tidak untuk mengurusi pendidikan. Isnur menyarankan kembali, agar Mendiktisaintek membaca UU TNI agar tidak kemudian merusak profesionalisme TNI. “Ini membahayakan mengancam profesionalisme TNI,” tegasnya.

Terlebih, kata Isnur, kampus adalah ruang-ruang untuk kebebasan berekspresi. Masuknya TNI bisa menjadi bagian dari intimidasi dan intervensi atau membungkam kebebasan berekspresi dan akademik. “Jadi ini jelas sekali menyalahi aturan pertama sejarah konstitusi, sejarah TAP MPR, sejarah UU TNI, dan terakhir ini jelas menyalahi prinsip-prinsip dari kebebasan akademik yang menjamin ruang kebebasan,” pungkas dia.

Pun dari segi dampak, menurut Ubaid dari JPPI, kehadiran TNI yang signifikan di lingkungan kampus, berpotensi menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi kebebasan akademik dan otonomi kampus. Kampus seharusnya menjadi ruang yang bebas dari tekanan dan intervensi kekuatan eksternal, termasuk militer.

“Kehadiran TNI dalam kapasitas pengajar berpotensi menghambat kebebasan akademik, jika tidak ada batasan dan mekanisme pengawasan yang jelas,” jelas dia.

Pelaksanaan SNPMB di Bandung

Dampak lainnya, kata Ubaid, dapat kepercayaan publik pada institusi pendidikan dapat menurun. Jika kampus dianggap terlalu dekat atau didominasi oleh militer, citra dan kepercayaan masyarakat terhadap independensi dan kualitas pendidikan tinggi bisa luntur.

Belum lagi adanya tekanan psikologis pada mahasiswa. Beberapa mahasiswa sudah pasti merasa tidak nyaman atau terintimidasi dengan kehadiran anggota TNI, yang dapat mempengaruhi pengalaman belajar mereka.

Maka, penting untuk diingat bahwa pendidikan tinggi memiliki peran krusial dalam mencetak generasi penerus bangsa yang kritis, inovatif, dan memiliki pemahaman yang mendalam tentang berbagai aspek kehidupan. Otonomi kampus dan kebebasan akademik adalah pilar penting dalam mencapai tujuan tersebut.

tirto.id

Comments are closed.