Terkait Tutupnya SPPG di Kalibata, Pengamat Pendidikan: Ini Pemborosan Anggaran Alih-alih Efisiesi

0
114

Tutupnya dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Kalibata, Jakarta Selatan menimbulkan reaksi yang beragam di mata publik.

Pengamat pendidikan sekaligus Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Martaji menyampaikan bahwa kejadian tersebut menggambarkan tidak matangnya persiapan program makan bergizi gratis (MBG).

Sehingga alih-alih mencapai tujuannya untuk mencegah stunting, program tersebut justru menimbulkan banyak masalah.

“Nah karena itu sebenarnya, jangan membuat program yang asal memenuhi janji kampanye atau asal jalan,” kata Ubaid saat dikonfirmasi Warta Kota, Kamis (17/4/2025).

“Kalau tidak bersumber dari uang rakyat sih tidak masalah, cuman ini kan sumbernya APBN. APBN itu kan uang rakyat harus dikelola dengan baik, jangan sampai bocor, jangan sampai tidak tepat sasaran, jangan sampai tidak mencapai tujuan yang diharapkan dan seterusnya,” imbuhnya.

Menurut Ubaid, tutupnya SPPG seakan menunjukkan terjadinya pemborosan keuangan negara.

Hal ini sangat kontraproduktif dengan program efisiensi anggaran yang juga dilakukan oleh pemerintah.

“Apakah MBG ini sangat krusial untuk anak-anak sekolah? Atau ada lagi yang paling krusial itu sebenarnya bisa loh dialihkan dana ini buat ini?” kata Ubaid.

Ubaid mencontohkan, saat ini masih banyak guru-guru honorer yang status dan kesejahteraannya belum jelas.

Di mana, mereka masih digaji dengan nominal Rp 200.000 – 300.000.

“Jadi statusnya diakui oleh negara aja enggak. Apalagi dia mendapatkan kesejahteraan, ya palinglah di standar UMR saja itu mereka enggak dapat. Jadi menurut saya itu jauh lebih penting untuk didahulukan,” kata Ubaid.

Selain itu, Ubaid melihat ada banyak prioritas lain yang harusnya bisa didahulukan oleh pemerintah.

Di antaranya, banyak anak-anak yang putus sekolah karena ekonomi dan lain sebagainya.

“Menurut saya, pemerintah ini kan punya program yang sudah lama sekali itu namanya wajib belajar 12 tahun, jadi negara mewajibkan,” jelas dia.

“Nah ketika negara mewajibkan, otomatis kan pembiayaannya sudah disediakan dong. Harus ada sekolahnya, harus ada gurunya, muridnya bisa masuk sekolah. Menurut saya itu yang utama yang harus diselesaikan,” lanjutnya.

Menurut Ubaid, pemerintah perlu memerhatikan dan mencari jalan keluar bagaimana menuntaskan masalah anak putus sekolah, alih-alih memberikan MBG.

Apabila masalah anak putus sekolah dan kesejahteraan guru sudah selesai, barulah program MBG bisa dimasukkan.

“Itu pun tidak semua anak Indonesia kan. Kita harus lihat data, jadi kebijakan itu jangan asal memenuhi janji kampanye, tapi harus (dari data). Ada kajiannya, ada datanya,” kata dia.

Pasalnya menurut Ubaid, tidak semua siswa di daerah kekurangan gizi.

“Artinya ketika misalnya contoh Jakarta, angka ketercukupan gizinya itu sudah cukup, ya Jakarta harusnya tidak menjadi prioritas utama,” kata Ubaid.

“Kita tengok daerah-daerah yang angka ketercukupan gizinya itu sangat rendah, itu didahulukan. Jakarta ya mungkin hanya untuk kelompok-kelompok masyarakat yang miskin ekstrem,” lanjutnya.

Selain memetakan daerah, hal lain yang bisa jadi prioritas pemberian MBG itu adalah siswa siswinya. Terutama, yang mengalami kekurangan gizi.

“Nah kalau sekarang mau diberlakukan dari SD sampai SMP seluruh Indonesia, orang dananya enggak ada kok, gimana?” tanya Ubaid.

“Akhirnya jadi asalan-asalan programnya, ini pemborosan. Jadi kontraproduktif presiden inginnya efisiensi, malah presiden sendiri yang pemborosan,” pungkasnya.

Sementara itu, Rissalwan Habdy Lubis selaku Pengamat Sosial Universitas Indonesia (UI) memandang bahwa fenomena tutupnya SPPG itu berkaitan dengan janji politik yang tidak disertai dengan perhitungan matang.

Ia juga membandingkan program ini dengan janji politik lama seperti rumah DP 0 persen di Jakarta yang juga gagal terwujud secara menyeluruh.

“Sebagai janji politik, ketika cepat diwujudkan itu patut diapresiasi. Tapi umumnya janji-janji itu tidak punya kalkulasi rinci,” kata Rissal saat dihubungi Warta Kota, Rabu (16/4/2025).

“Ketika dijalankan, pejabat publik seperti presiden atau gubernur tidak ikut terlibat dalam detail perhitungan teknisnya. Akhirnya di lapangan, pelaksanaannya babak belur,” imbuhnya.

Dalam hal ini, Rissal menyoroti terkait kesalahan logika dalam penentuan standar makan.
Menurutnya, kebutuhan dan kebiasaan makan anak-anak sangat bergantung pada latar belakang sosial ekonomi keluarga.

“Bisa jadi untuk keluarga-keluarga yang menengah ke atas yang disiapkan MBG itu cukup, tapi bagi keluarga menengah ke bawah yang penting itu bukan gizi, yang penting itu adalah porsi,” jelas Rissal.

“Nah ketika ngomong porsi bukan gizi, di situ nominal harga makan menjadi relevan. Makanan anak SD, SMP, SMA apakah disamakan atau tidak?” imbuhnya.

Apabila disamakan, Rissal menyebut jika kebijakan ini menyalahi logika pertumbuhan dan kebutuhan nutrisi berdasarkan usia.

Selain masalah porsi, Rissal juga menyoroti soal kemana larinya limbah sampah makanan yang mungkin tidak dihabiskan oleh siswa.

“Kalau kita bongkar satu per-satu, semua masalah-masalah kecil itu sebetulnya merefleksikan ketidakmampuan jajaran presiden untuk mengelola ini,” jelas Rissal.

Dalam implementasinya, MBG dikendalikan oleh Badan Gizi Nasional (BGN).

Namun menurut Rissal, BGN tidak memiliki kapasitas distribusi. Akhirnya, distribusi makanan ini melibatkan andil pihak lain.

“Masalahnya, yang dipentingkan justru pengadaan tempat makan logam, bukan sistemnya. Siapa yang jadi korban? Penyedia makanannya,” tegasnya.

Pasalnya, penyedia makanan untuk MBG siswa sudah memiliki beban yang cukup tinggi. Mulai dari memasak, belanja bahan, dan lain sebagainya.

Sementara pembayaran atau nominal terkait MBG terkadang tidak pasti dan pembayarannya kerap tertunda.

Sehingga, Rissal memandang jika struktur kerja sama yang terjalin untuk melancarkan MBG, sangatlah menyulitkan mitra penyedia.

“Modelnya seperti reimbursement, padahal ini kontraktual. Mereka harus keluar modal dulu—beli bahan, siapkan operasional—tapi sering kali dibayar jauh belakangan atau bahkan tidak dibayar sama sekali,” jelas dia.

Hal tersebutlah yang terjadi di SPPG Kalibata, Jakarta Selatan beberapa hari ke belakang.

Oleh karena itu, menurut Rissal, MBG yang tidak dibenahi bisa menjadi “backfire” politik.

“MBG ini mega proyek. Tapi kalau eksekusinya tidak dikelola dengan baik, yang dikorbankan adalah pihak paling ujung—dapur-dapur dan penyedia makanan,” pungkasnya. (m40)

wartakota.tribunnews

Comments are closed.