
Kornas JPPI Ubaid Matraji/dok
Tarif Liar Masuk Sekolah Meresahkan
JAKARTA – Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) oleh sekolah Tahun Ajaran 2018/2019 masih diwarnai sejumlah pelanggaran. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat, laporan terbanyak terkait tarif liar pendaftaran jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) cukup meresahkan masyarakat.
“Ini bedanya PPDB 2018 dengan tahun sebelumnya. Tahun kemarin semua jenjang harus gratis dan diatur dalam Permendikbud,” ujar Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji kepada HARIAN NASIONAL, Senin (2/7).
Ubaid menjelaskan, pelaksanaan PPDB tahun ini mengalami kemunduran dari segi regulasi. Sebab, Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 membolehkan pihak SMA/SMK pasang tarif saat pendaftaran. Hal ini membuat tarif tidak terkontrol lantaran sekolah bebas menetapkan biaya pendaftaran.
JPPI juga menemukan kasus pungli dan jual beli kursi. Praktik pungli berlangsung dengan alasan beragam, termasuk biaya pembelian baju seragam dan buku. Sementara itu, jual beli kursi dilakukan lewat dua cara, yaitu secara langsung maupun online atau dalam jaringan (daring)
“Kasus pungli ditemukan di Gresik, Banten, dan Jawa Barat. Daerah lain juga masih investigasi,” katanya.
Ubaid juga mengungkapkan, kebijakan yang belum tersinkronisasi antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Agama (Kemenag) juga menimbulkan masalah menyangkut aspek-aspek krusial PPDB.
Dia mencontohkan laporan masyarakat mengenai penerapan tes baca tulis hitung (calistung) dan psikotes di Madrasah Ibtidaiyah (setara sekolah dasar). Padahal, Kemendikbud sudah menyatakan tidak boleh ada tes calistung untuk anak-anak yang masuk sekolah dasar.
Ubaid menambahkan, sistem zonasi yang dilakukan selama PPDB juga berpotensi menimbulkan masalah. Pemerintah seharusnya menerapkannya bertahap berdasarkan evaluasi dan pemetaan. Sistem zonasi, idealnya bisa berjalan baik jika pemerataan kualitas sudah diterapkan. Ubaid menilai, kebijakan ini seharusnya baru siap dioperasikan pada 5-10 tahun ke depan.
“Harus ada peta jalan yang jelas mengenai sistem zonasi,” katanya.
Koordinator Advokasi dan Investigasi JPPI Nailul Faruq mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mengimbau sekolah mengutamakan transparansi. Partisipasi publik juga penting untuk meminimalisasi pelanggaran.
Nailul menilai, dinas pendidikan masing-masing daerah perlu mengevaluasi temuan-temuan kasus di daerahnya sebab mereka punya aturan sendiri dalam pelaksanaan PPDB. Pemerintah daerah (pemda) harus memberikan sanksi tegas kepada sekolah yang terbukti melakukan pungli.
“Desentralisasi membuat daerah punya wewenang memberikan sanksi. Namun, sanksi harus sudah terkoordinasi dengan kementerian terkait, Kemendikbud dan Kemenag,” katanya.
Menurut Nailul, pemda kurang tegas menanggulangi kasus pungli. Ini dibuktikan dengan masih banyaknya temuan kasus serupa.
Pelaksana tugas Irjen Kemendikbud Totok Suprayitno menyatakan, ada sekitar 30 laporan yang diterima Kemendikbud. Menurut dia, ada juga pengaduan terkait dugaan pungli PPDB.
“Terdapat pengaduan adanya jalur mandiri yang harus membayar sejumlah uang. Tim sedang mengaudit khusus ke lapangan. Laporan yang diterima juga beragam karena ada yang menanyakan kebijakan PPDB dan memberikan saran.”
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.