Perkawinan Anak Bisa Menghambat Cita-cita Indonesia Emas 2045

0
1275

Jakarta — “Gerakan Multipihak untuk Pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs)” dan Indonesia BERAGAM, menuntut pemerintah mencegah dan mengakhiri perkawinan anak. Karena perkawinan bocah merupakan masalah serius. Indonesia menduduki peringkat ketujuh tertinggi di dunia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 dan 2015 menunjukkan terjadinya 1 (satu) kasus perkawinan anak di setiap 5 (lima) orang.

Perkawinan anak akan berdampak pada kegagalan Indonesia di bidang pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan, dan penurunan ketimpangan. Karena itu, dibutuhkan kesungguhan dengan menyegerakan payung hukum untuk mencegah perkawinan anak. Disamping itu dibutuhkan sikap tegas untuk menghentikan pihak-pihak yang mempromosikan perkawinan anak dengan menggunakan norma-norma konservatif.

Realitas di lapangan yang dihadapi Gerakan Multipihak bahwa perkawinan anak merupakan masalah yang serius bahkan akut. Perkawinan anak menyebabkan perempuan putus sekolah dan ini menjadi resiko kegagalan program wajib belajar 12 tahun. Perkawinan anak juga beresiko pada belum siapnya alat reproduksi perempuan untuk menjalani kehamilan. Ini memicu angka kematian ibu yang tinggi di Indonesia, dan terancam sulit untuk menurunkannya.

Dampak lainnya adalah mereka tidak dapat mengakses pekerjaan layak dan bekerja di sektor informal, tanpa perlindungan hukum, rentan kekerasan, dan upah rendah. Dengan demikian mereka masuk dalam lingkaran kemiskinan dan menghambat penurunan ketimpangan di Indonesia.

Kami bergabung dari wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Bali, Jawa Timur, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat menyangsikan cita-cita masa depan emas tahun 2045 akan gagal jika perkawinan anak di Indonesia masih marak. Oleh karena itu kami menuntut:

1. DRR RI, Presiden RI, Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk hadir dan memberikan perlindungan hukum dengan menaikkan batasan usia menikah perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun untuk mencegah dan menghentikan perkawinan anak.

2. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang memimpin pelaksanaan dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) untuk memastikan kementerian dan lembaga terkait memberikan prioritas pencegahan perkawinan anak dalam Rencana Aksi Nasional TPB.

3. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak agar bertindak aktif dan memastikan adanya perlindungan hukum, melakukan proses pemberdayaan masyarakat, pendidikan publik untuk pencegahan dan penghentian perkawinan anak.

4. Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Sosial untuk membuat kebijakan sebagai dasar melakukan penyadaran dan pencegahan perkawinan anak di jajaran masing-masing.

5. Badan Pusat Statistik untuk memberikan data terbaru secara reguler tentang perkawinan anak sampai tingkat kabupaten dan desa.

Leave a reply