Penerimaan Siswa Baru I Pelibatan Swasta di PPDB Belum Optimal “Rebutan Kursi” saat PPDB Harus Dihilangkan
Kasus rebutan kursi pada PPDB harus dihilangkan. Hal ini terjadi karena dipicu jual beli kursi, obral sertifikat prestasi, manipulasi KK dan surat keterangan tidak mampu abal-abal.
JAKARTA – Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, meminta agar kasus rebutan kursi saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) harus dihilangkan. Menurutnya, masalah dalam PPDB itu bukan sistem zonasi, karena tujuannya bagus untuk pemerataan akses dan juga mutu.
“Yang jadi masalah sesungguhnya adalah, sistem rebutan kursi. Sudah tahu, bangku yang disediakan memang kurang, tapi orang tua diminta untuk rebutan,” ujar Ubaid, kepada Koran Jakarta, Kamis (6/6).
Dia menyebut, adanya kasus rebutan kursi memicu terjadinya jual beli kursi, obral sertifikat prestasi, manipulasi KK, dan juga surat keterangan tidak mampu abal-abal. Menututnya, transaksi busuk musim PPDB ini terjadi karena sistem rebutan kursi, yang tidak berkeadilan.
“Jika sistem rebutan ini tidak diperbaiki, maka selain masalah lama masih terjadi, masalah baru pun akan menambah daftar keruwetan saat musim PPDB tiba,” jelasnya.
Ubaid meminta, pemerintah daerah (Pemda) untuk memahami petunjuk teknis terkait PPDB. Menurutnya, tahun ini, kejanggalan baru mulai banyak terjadi seperti ketua panitia PPDB mengundurkan diri, pengumuman kelulusan yang diundur, sistem eror berhari-hari dan lain-lain.
Dia mencontohkan, di Jakarta, Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta, Iman Satria meminta penambahan kuota afirmasi sebanyak 50 persen. Menurutnya, kebijakan tersebut tidak manusiawi karena anak-anak dari keluarga tidak mampu, apalagi yang disabilitas, mereka dipaksa harus tetap ikut rebutan kursi di sekolah negeri.
“Memahami juknis PPDB saja mereka masih kebingungan, apalagi disuruh isi aplikasi online yang servernya sering error. Pasti akan menambah keruwetan baru,” katanya.
Ubaid juga menyinggung terkait pelibatan sekolah swasta dalam PPDB yang masih belum optimal. Menurutnya, di Jakarta saja hanya mampu menampung 8.426 kursi dari total kursi yang dibutuhkan sebanyak 170.223 kursi.
“Artinya, sistem PPDB bersama ala Pemprov Jakarta ini hanya mampu menampung sekitar 4 persen dari total kebutuhan. Dengan begitu, sistem ini ternyata gagal menciptakan keadilan,” ucapnya. Dia meminta, pemerintah daerah memperhatikan anggaran pendidikan untuk pemerataan akses.
Menurutnya, ada banyak anggaran penddiidkan yang dikelola secara tidak efektif dan hanya untuk kegiatan yang tidak jelas dampaknya apa.
“Lebih baik digunakan untuk pembiayaan pendidikan bebas biaya. Jika masalah akses ini sudah tuntas, maka pengembangan kualitas bisa jadi lebih fokus dan lebih bisa dimaksimalakan,” tuturnya.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menegaskan warga Jakarta dengan nomor induk kependudukan (NIK) nonaktif akibat terkena penertiban dokumen kependudukan tetap bisa mendaftarkan anaknya di penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan syarat bukti domisili.
Menurut Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta Budi Awaluddin, mereka harus segera melapor ke kelurahan dan apabila terbukti tak berdomisili di Jakarta maka harus mengurus dokumen pindah domisili agar dia tidak termasuk dari program penertiban.
“Kalau mereka masih tinggal di DKI, akan diverifikasi dan validasi, lalu saat itu juga hasil verifikasi 1+24 jam langsung dikeluarkan dari program penataan terhubung langsung ke PPDB,” kata Budi dalam acara daring bertema “Seputar PPDB Provinsi DKI Jakarta”, kemarin.
koran-Jakarta.com