Pendidik Harus Paham Kode Etik
Kalangan akademisi seperti guru dan dosen dapat menjadi kekuatan bangsa mengatasi hoaks.
JAKARTA – Kasus penyebaran hoaks atau berita bohong dalam beberapa waktu belakangan yang kerap melibatkan guru patut disesalkan. Hal ini menunjukkan masih lemahnya pemahaman kode etik di kalangan guru sebagai pendidik anak bangsa.
“Harus ada penegakan kode etik guru. Ini perlu diketahui bersama dan menjadi pedoman sebagai guru,” ujar Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji kepada HARIAN NASIONAL,baru-baru ini.
Kasus terakhir guru terlibat penyebaran berita bohong yaitu berinisial MIK (38). Lelaki yang mengajar di SMP swasta di Cilegon, Banten, ini ditangkap polisi karena menyebarkan berita bohong tentang sudah tercoblosnya tujuh kontainer surat suara salah satu pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden 2019.
Ubaid menjelaskan, perbedaan dalam politik sudah biasa, tapi guru tidak perlu termakan berita bohong. Apalagi mereka ikut menyebarluaskan. Menurut dia, pengajar tetap harus bersikap netral dan mengedukasi. Namun, sejumlah guru dinilai belum tahu peran substansinya sebagai agen ilmu pengetahuan.
Menurut Ubaid, kode etik guru diterbitkan masing-masing organisasi profesi. Namun, banyak guru yang belum bergabung dalam organisasi profesi karena peran dan wewenangnya dinilai tidak signifikan.
Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim menyesalkan kasus penyebaran berita bohong yang melibatkan akademisi seperti guru maupun dosen.
Menurut Satriwan, guru dan dosen sejatinya adalah intelektual yang lekat dengan nilai-nilai akademis, ilmiah, objektif, rasional, dan kritis.
Satriwan mengimbau guru dan organisasi profesi guru tetap netral dan tidak partisan dalam politik elektoral.
“Jangan juga menyeret-nyeret siswa atau menggiring opini siswa untuk memilih salah satu kandidat,” kata Satriwan.
Guru tetap punya hak politik untuk memilih. Mereka pun boleh menjadi simpatisan karena punya kontrak politik dengan salah satu calon. Namun, menurut Satriwan, pengajar tidak boleh menyampaikan pilihannya di ruang kelas. Jika terjadi, yang bersangkutan melanggar kode etik guru.
“Sanksi kewenangan organisasi profesi guru sesuai UU Guru dan Dosen. Hukuman tergantung putusan dan kembali ke aturan kode etik internal masing-masing organisasi profesi,” ujarnya.
FSGI mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberi pelatihan keterampilan berpikir tinggi atau High Order Thinking Skills (HOTS). Menurut Satriwan, adanya oknum guru yang menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian mengindikasikan keterampilan berpikir kritis belum sepenuhnya dipahami dan diimplementasikan.
Selain itu, kata Satriwan menegaskan, kemampuan literasi guru juga masih rendah. Sedangkan gerakan literasi sekolah selama ini hanya menyasar siswa. Padahal literasi digital bersifat kritis bagi guru juga urgen.
“Guru seharusnya tidak mudah percaya dengan apa yang disuguhkan dan verifikatif. Guru jangan mudah membagikan tautan web tanpa pahami konten berita.”
Pengamat Pendidikan Totok Amin Soefijanto menilai, penyebaran berita bohong seperti penyakit kronis informasi di ranah publik. Pelakunya bukan hanya guru atau dosen, tapi lintas profesi dan status sosial.
“Namun, kebetulan yang suka menulis dan berdiskusi itu komunitas akademik. Maka hoaks yang beredar banyak dari mereka. Padahal kalangan akademisi dapat menjadi kekuatan bangsa mengatasi hoaks,” ujar Totok.
Totok mengingatkan, pengajar yang bijak itu lebih hati-hati dalam beropini dan tidak akan absolut.
“Selalu ada marjin kesalahan (margin error) sehingga tidak ada yang 100 persen benar. Selain itu, pengajar harus mencerdaskan generasi masa depan.”
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.