
Pemerhati Pendidikan Ungkap Relasi Kuasa Picu Kekerasan Sekolah
Guru dikatakan menjadi pelaku dominan dalam kekerasan di sekolah. Guru yang memiliki relasi kuasa menjadi sorotan utama, di mana ketimpangan relasi kuasa antara guru dan siswa memicu terjadinya kekerasan di sekolah.
“Siswa sering dalam posisi subordinasi. Sehingga rentan menjadi korban kekerasan fisik maupun verbal,” ujar Koordinator Program dan Advokasi Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ari Hardianto dalam wawancara bersama Pro3 RRI, Sabtu (28/12/2024).
Selain itu, beban kerja yang berat dan tekanan sosial memengaruhi perilaku kekerasan di sekolah. Menurutnya, kurangnya kompetensi membuat guru kesulitan mengelola siswa dengan pendekatan yang lebih mendidik dan konstruktif.
“Guru sering tidak memiliki kompetensi memadai untuk mengelola siswa. Dengan pendekatan yang lebih mendidik,” ucapnya.
Ia juga menyoroti rendahnya kompetensi guru dalam bidang kepribadian, sosial, pedagogi, dan profesional di Indonesia. “Rendahnya kompetensi ini menjadi pekerjaan besar yang harus ditangani oleh semua pihak terkait,” katanya.
Ari mengkritik implementasi satgas kekerasan di sekolah yang dibentuk pemerintah karena belum berjalan maksimal. Menurutnya Banyak sekolah yang belum memiliki satgas atau efektivitasnya masih sangat rendah, sehingga tidak efektif.
“Banyak sekolah bahkan belum memiliki satgas. Atau efektivitasnya masih sangat rendah,” ucapnya.
Sebagai solusi, Ari merekomendasikan penguatan peran guru bimbingan konseling untuk menangani kekerasan dengan pendekatan psikologis. Ia menekankan bahwa pendidikan harus menanamkan karakter moral pada siswa, bukan hanya fokus pada transfer ilmu pengetahuan.