ORI: Pungli Merajalela di Pendidikan

0
582

MANADO – Pungutan liar (pungli) di dunia pendidikan di Sulawesi Utara (Sulut) mengerikan. Pernyataan ini disampaikan anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Prof Adrianus Meliala PhD, di hadapan legislator DPRD Sulut yang melakukan kunjungan kerja ke kantor ORI di Jakarta, baru-baru ini.

Meliala menyatakan, ini berdasarkan laporan Ketua ORI Perwakilan Sulut Helda Tirajoh ke pusat. “Dunia pendidikan Sulut banyak minta-minta uang. Pungli merajalela,” sebut Wakil Ketua DPRD Sulut Wenny Lumentut, meniru pernyataan Meliala. Dia mengatakan, pungli di dunia pendidikan sudah merajalela dan menjadi masalah yang harus diseriusi. “Itu kita bahas bersama dengan ORI. Laporan dari perwakilan Sulut ini menjadi catatan tersendiri DPRD Sulut untuk diteruskan ke eksekutif atau dinas terkait,” tukasnya.

Lebih lanjut dikatakan Lumentut, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan ORI Perwakilan Sulut untuk menindaklanjuti pernyataan Prof Meliala tersebut. “Kita akan meminta data, dari mana pernyataan tersebut. Karena tentu harus ada data yang mendasari laporan-laporan ini,” tandasnya.

Ditambahkan Ketua Komisi I DPRD Sulut Ferdinand Mewengkang yang ikut dalam kunjungan ini, wajib ada bukti terkait laporan tersebut. “Ini akan jadi catatan dan evaluasi kami. Tim yang melakukan kunjungan kerja bakal memberi hasil ini ke pimpinan DPRD untuk ditindaklanjuti agar tak ada lagi pungli di pendidikan Sulut. Bagaimana mau berkembang kalau pungli masih merajalela,” tutupnya.

Di tempat terpisah, Kepala ORI Perwakilan Sulut Helda Tirajoh mengatakan, laporan yang disampaikan pihaknya ke pusat sudah sesuai dengan amatan di dunia pendidikan Sulut. “Pungli masih marak kita temukan di dunia pendidikan Sulut. SMA serta SMK sampai sekarang belum berubah. Padahal kita terus melakukan pengawasan dan kritik penilaian. Namun ini seakan menjadi tradisi,” urainya. Dirinya menambahkan, jenis-jenis pungli yang pihaknya temukan adalah pembayaran uang komite, bangku kursi, pengayaan, uang pembangunan, serta beberapa modus lainnya. “Jika diwajibkan, itu dikatakan pungli,” tegasnya.

Tirajoh melanjutkan, modus yang dipakai dalam pengambilan pungli dari tahun ke tahun hampir sama. “Itu-itu saja, mereka juga telah kita tegur dan suruh mengembalikan. Namun sampai sekarang tidak ada perubahan,” pungkasnya.

Di sisi lain, Ketua Komisi IV DPRD Sulut James Karinda menuturkan pihaknya sudah berulang-ulang memanggil instansi terkait termasuk SMA sederajat untuk mengklarifikasi mengenai pungli yang masih terjadi di dunia pendidikan Sulut. “Beberapa waktu lalu ada orang tua di tiga SMA di Manado melapor kalau mereka dimintai sumbangan pendidikan. Jika tidak membayar, tak boleh ikut ujian,” sebut Karinda. Laporan ini, lanjutnya, sudah diteruskan ke instansi terkait. “Saya minta Dinas Pendidikan tegas melakukan pengawasan. Jika dibiarkan bisa mempengaruhi kualitas pendidikan,” kuncinya.

Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Pendidikan Daerah Provinsi Sulut Liesje Grace Punuh menegaskan, jangan sampai salah kaprah mengartikan pungli dengan sumbangan. “Kalau pungli itu diwajibkan pihak sekolah untuk membayarkan sesuatu. Misalnya sekolah meminta uang untuk membeli cat pagar sebanyak 10 ribu per siswa dari 30 siswa. Sedangkan harga cat hanya 50 ribu dan itu diwajibkan. Nah, itu dilarang Ombudsman dan itu namanya pungli,” tukasnya.

Sedangkan sumbangan diberikan secara kerelaan hati saja dari siswa. “Mau seribu, dua ribu, atau pun lima ribu asalkan tidak dengan keterpaksaan untuk membeli kebutuhan sekolah itu tidak masalah. Terkecuali mengenai komite itu tidak boleh,” jelas Punuh.

Dia berharap Ombudsman lebih baik menjelaskan kepada kepsek agar mengartikan kepada para orang tua siswa sumbangan dan pungli itu seperti apa. “Mungkin ketidaktahuan arti kata kedua membuat sampai saat ini dunia pendidikan buruk. Karena bungkusan kata sumbangan diartikan menjadi pungli,” imbuhnya. Dikatakan Punuh, jika ada sekolah yang melakukan pungli akan ditindaklanjuti. “Akan ada pembinaan dan ditindaklanjuti sesuai aturan,” tuturnya.

Leave a reply