Nadiem Dituntut Jadikan Pendidikan Mampu Lari Cepat Sambil Bawa Dua Gerbong Kementerian Jadi Satu

0
709

AKURAT.CO, * Ubaid Matraji mengingatkan banyak pekerjaan kementerian yang belum selesai pada pemerintahan periode pertama dan hal itu kini menjadi tantangan bagi Nadiem.

  • Kebijakan sistem zonasi dianggap gagal karena pemerintah pusat menganggap semua sekolah kondisi serta kualitasnya sama.
  • Hal lain yang menurut Ubaid perlu Nadiem ketahui adalah pengangguran paling tinggi justru lulusan Sekolah Menengah Kejuruan.

***

Sehari setelah pengumuman kabinet pemerintah periode kedua, Presiden Joko Widodo mengungkapkan salah satu alasan menunjuk Nadiem Makarim untuk memimpin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Nadiem dianggap memiliki kacamata masa depan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang unggul. Selain itu, diyakini bakal mampu membuat terobosan-terobosan pengelolaan pendidikan untuk menyongsong perubahan zaman.

Dengan latar belakang teknologi digitalisasi yang mumpuni, Nadiem diyakini Jokowi mampu mengisi peluang di tengah perkembangan teknologi yang maju pesat. Jokowi percaya Nadiem mampu merealisasikan visi dan misi di bidang pendidikan.

Nadiem Makarim Menteri Termuda di Kabinet Indonesi. AKURAT.CO/Dharma Wijayanto
Kehadiran Nadiem memunculkan optimisme baru sekaligus kekhawatiran. Agar semua harapan itu tidak ambyar, dia diharapkan benar-benar memahami berbagai persoalan yang ada sejak sekarang.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji mengingatkan banyak pekerjaan kementerian yang belum selesai pada pemerintahan Jokowi periode pertama dan hal itu kini menjadi tantangan bagi Nadiem.

“Sosok milenial dan punya pemikiran yang jauh ke depan soal digital ekonomi, soal digital platform, soal inovasi 4.0 dan seterusnya, ini diharapkan supaya pendidikan di Indonesia ini lari cepat, kalau bisa nggak larilah, lompat gitu,” kata Ubaid ketika saya temui hari itu di Jakarta Pusat.

“Tapi pertanyaan besarnya adalah bisa nggak kira-kira pak menteri ini membawa gerbong Kemendikbud yang sekarang dua kementerian (pendidikan tinggi) menjadi satu ini, yang bebannya saya pikir cukup berat. Dan kalau kita lihat birokrasinya juga tidak sederhana, rumit sekali,” Ubaid menambahkan.

Pada waktu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dipimpin oleh menteri sebelumnya, Muhadjir Effendy, ada kebijakan full day school. Kebijakan tersebut menjadi polemik karena ketika diputuskan dianggap tanpa meminta pendapat instansi pendidikan yang lain, seperti Kementerian Agama. Protes datang bertubi-tubi.

“Akibatnya apa? Di mana-mana demo, pesantren demo, madrasah demo, artinya? Ini ada dua lembaga besar yang ngurusin sekolah dan madrasah ternyata nggak ngobrol atau ngobrol tapi nggak mencapai kesepakatan lalu mengeluarkan statmen sendiri. Intinya, pengelolaan sekolah sama madrasah masih bermasalah,” ujar dia.

Selain itu, penerimaan peserta didik baru dengan sistem zonasi juga jadi pro dan kontra, bahkan sampai sekarang.

Ubaid mengaku tak habis pikir bagaimana kebijakan itu dulu diputuskan.

“Kebijakan ini saya nggak tahu bagaimana metode pengelolaan birokrasinya sehingga muncul kebijakan itu. Apakah cuma ngobrol mojok di warung kopi sama dirjen?” katanya.

Kebijakan sistem zonasi dianggap gagal karena pemerintah pusat menganggap semua sekolah kondisi serta kualitasnya sama.

Padahal pada kenyataannya tidak seperti itu, keadaan setiap sekolah berbeda-beda. Ada sekolah yang masuk kategori unggulan ada juga yang non unggulan.

Tetapi dengan sistem zonasi tetap diberlakukan supaya anak-anak bisa masuk ke sekolah yang dekat dengan domisili.

“Ini kenapa model zonasi gagal di lapangan, padahal bagus peta zonasi itu kan? Anak yang rumahnya dekat sekolah harus sekolah di dekat rumahnya, bagus itu. Tapi problemnya adalah pemerataan kualitas sekolah tidak terjadi. Jadi, sekolah yang satu kualitasnya jomplang sama yang lain,” Ubaid menambahkan.

Sistem zonasi itu penting dengan konsep sekolah dekat, tetapi problemnya belum ada pemerataan kualitas sekolah. Itu sebabnya, menurut Ubaid, sistem tersebut untuk kondisi sekarang belum bisa diberlakukan secara nasional.

Nadiem diharapkan belajar dari pengalaman semasa Muhadjir memimpin kementerian pendidikan – kini Muhadjir menjadi menteri koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan.

Nadiem juga perlu belajar dari wacana yang dimunculkan Muhadjir sebelum diganti, yakni menjadikan hasil ujian nasional sebagai penentu kelulusan murid. Gagasan seperti itu, menurut Ubaid, tidak perlu ditiru.

Kalau wacana tersebut tetap direalisasikan, menurut Ubaid, bakal membuat dunia pendidikan negeri ini mundur lagi.

Menurut Ubaid, UN seharusnya dihapus dari agenda pendidikan Indonesia. Alasannya UN sudah tidak relevan, apalagi dengan pemberlakuan sistem zonasi yang dimulai 2018 lalu menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Ubaid mengatakan ujian bisa diganti dengan research.

“Lah harusnya tujuan UN itu apa sih? Pemetaan siswa kan? Anggarannya 1,5 triliun rupiah. Kenapa UN dilestarialkan? Karena ini proyek. Lah untuk mengetahui bagaimana kualitas siswa itu nggak harus dengan UN, dengan research sampling berapa orang bisa, begitu pemilu selesai siapa presiden yang menang, udah tahu. Artinya akurasi dari metodologi riset terbukti,” kata Ubaid.

Anggaran triliunan rupiah untuk penyelenggaraan UN bisa dimanfaatkan untuk memberesken permasalahan-permasalahan pendidikan, misalnya peningkatan kualitas guru.

“Jadi hanya untuk mengetahui evaluasi bagaimana kualitas siswa tanpa harus menanggarkan yang 1,5 triliun itu. Ini proyek, ini gak mendidik. Harusnya menggunakan anggaran itu untuk yang lebih manfaatnya lebih bagus untuk meningkatkan guru dan sebagainya.”

Kalau perlu, menurut Ubaid, UN justru diadakan untuk para guru sebagai bahan pemetaan kualitas pendidik. Kualitas pendidik merupakan salah satu problem yang tak kalah penting.

“Kondisi guru-guru yang perlu diupgrade, karena selama ini intervensi tehadap guru itu sparatis, yang dapet pelatihan guru, guru itu aja atau sekolah itu itu aja yang dapat bantuan peningkatan kualitas sekolah,” tutur dia.

***

Nadiem ditunjuk Jokowi karena dianggap mampu membawa pendidikan Indonesia berlari dengan cepat dan meningkat pesat.

Namun, menurut Ubaid, hal itu tidak akan terjadi kalau Nadiem tidak memiliki peta jalan pendidikan untuk mencapai tujuan Indonesia Unggul. Untuk melakukan pendidikan berbasis teknologi dengan kondisi seperti sekarang ini dianggap sulit terealisasi kalau tidak ada roadmap.

Kondisi pendidikan Indonesia sekarang ini masih berkutat pada masalah dasar, yakni kompetensi guru masih rendah, masalah guru honorer belum jelas, infrastruktur sekolah yang belum baik, sampai masalah Kartu Indonesia Pintar di daerah.

Masalah kompetensi guru, Ubaid mengungkapkan sebagian guru tingkat pendidikan masih banyak yang di bawah sarjana. “Padahal standar minimalnya adalah S1,” ujar dia.

Data Kementerian Dalam Negeri (Kementerian Dalam Negeri dan Pendidikan) di 12 kabupaten dan kota menunjukkan, guru yang belum S1 di Jakarta Selatan ada 8,64 persen, di Kota Surabaya ada 6,82 persen, di Kota Medan ada 10,64 persen, di Kota Palu ada 11,57 persen, di Kabupaten Lampung Utara ada 17,41 persen, di Kabupaten Kubu Raya ada 19,46 persen, di Kabupaten Penajam Paser Utara ada 8,07 persen.

Kemudian di Kabupaten Karangasem ada 9,51 persen, di Kabupaten Bangkalan ada 10,84 persen, di Kabupaten Aceh Singkil ada 12,43 persen, di Kabupaten Lebak ada 10,62 persen, dan di Kabupaten Raja Ampat terdapat 18,56 persen.

Kompetensi guru rata-rata juga masih di angka 50-60 persen.

Itu sebabnya jika Nadiem nantinya membuat kurikulum baru, tapi performa guru masih di bawah standar, kata Ubaid, akan sulit diterapkan.

“Contoh kasus misalnya kurikulum 2013, kurang keren apa? Sudah diapresiasi banyak orang pendidikan karakter, di lapangan gimana? Balik lagi ke kurikulum 2006,” kata dia.

“Saya menduga pak menteri yang baru ini akan bertemu gap yang terlalu tinggi. Lulusan Hardvard, pengelola Gojek yang udah 4.0 atau 5.0 segala macam itu, tapi guru-guru di lapangan mohon maaf kualitasnya seperti ini. Mohon maaf ini data real dari Kemendikbud, saya nggak mengada-ada. Bagaimana menyambungkan gap yang cukup tinggi antara era yang digagas pak menteri ini dengan kondisi yang di lapangan,” Ubaid menambahkan.

Persoalan dunia pendidikan lainnya yaitu sebagian guru belum tersertifikasi.

Di Jakarta Selatan yang merupakan wilayah ibu kota negara saja, 63,4 persen guru pendidikan anak usia dini belum tersertifikasi, kemudian guru SD ada 48,4 persen guru yang belum tersertifikasi, guru SMP 37,3 persen, guru SMA 43,6 persen, guru SMK 57,4 persen, dan guru sekolah luar biasa ada 37,3 persen.

“Separuh guru-guru di Jakarta itu belum tersertifikasi. Artinya kualitasnya dimana? Tanda tanya besar. Makanya uji kompetensi guru juga nggak aneh kalau kualitasnya masih rendah,” ujar dia.

Apalagi di daerah, seperti Lampung Utara. Menurut data, guru PAUD yang belum tersertifikasi ada 87,6 persen, guru SD ada 62,2 persen, guru SMP ada 55,8 persen, guru SMA ada 54,9 persen, guru SMK ada 63,7 persen, dan guru SLB ada 69,2 persen.

“Di Lampung Utara, 60-70 belum tersertifikasi. Sangat memprihatinkan,” ujarnya.

Persoalan penting lainnya yaitu masih banyak guru honorer yang hingga sekarang tidak diakui statusnya. Pada periode pemerintahan Jokowi yang pertama, mereka sampai demonstrasi di gedung DPR dan Istana untuk menuntut kejelasan status.

“Sampai nginep-nginep, hanya untuk memperjuangkan status guru honorer yang sampai hari ini diakuin aja kaga,” ujarnya.

Begitu juga guru-guru honorer yang telah mengikuti tes pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja, tidak jelas apakah lulus atau tidak.

“Ini penting untuk menjadi kebijakan menteri yang baru, Menag maupun Pendidikan, supaya bagaimana guru honorer itu nasibnya diperjelas, jangan di-PHP. Harus ada kebijakan asimilasi khusus bagi guru-guru honorer yang udah ngajar lebih dari 10 tahun bahkan lebih 20 tahun tapi gajinya masih di bawah UMR, ada yang 200 ribu, 300 ribu, 500 ribu, nggak cukup sama sekali,” tutur dia.

Yang harus menjadi perhatian Nadiem lagi adalah infastruktur sekolah yang belum merata. Masih banyak gedung sekolah yang rusak.

Bahkan, di Kota Jakarta Selatan saja tercatat 4.913 bangunan sekolah rusak. Belum lagi di Kota Medan terdapat 7.058 bangunan sekolah rusak, Kota Surabaya ada 7.441 bangunan rusak, Kota Palu ada 1.641 bangunan rusak, Kabupaten Karangasem ada 2.230 bangunan rusak, Kabupaten Lampung Utara 3.851 ditemukan bangunan rusak.

Di Kabupaten Kubu Raya 2.819 bangunan rusak, Kabupaten Penajam Paser Utara 852 bangunan rusak, Kabupaten Aceh Singkil 959 bangunan rusak, Kabupaten Bangkalan 5.125 bangunan rusak, Kabupaten Lebak 5.280 bangunan rusak, dan Kabupaten Raja Ampat 742 bangunan rusak.

“Kalau rusak, gimana mau pakai digital teknologi? Atapnya aja rusak, labnya nggak ada. Lalu mau dibawa kemana dengan model pak menteri yang punya platform pendidikan yang luar biasa. Dugaan saya akan terseok-seok,” kata dia.

“Lebih dari separuh ruang kelas itu rusak. Jadi mungkin nggak perlu sekolah lagi, nggak perlu ruang, online aja, terobosan baru. Ini data lampiran Kemendikbud,” Ubaid menambahkan.

Penyaluran Kartu Indonesia Pintar yang merupakan program prioritas pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masih terdapat banyak masalah.

Berdasarkan laporan JPPI pada Januari hingga Oktober 2019 terdapat banyak pengaduan, di antaranya tidak tahu bagaimana mendapatkan KIP dan tidak tepat sasaran.

“Jadi ada banyak laporan dari orangtua yang melapor ke kita, katanya pemerintah ada KIP. Aku ini termasuk keluarga miskin, tapi kenapa anak saya tidak dapet KIP. Bagaimana caranya. Jadi banyak yang nanya gitu, jadi keluarga PKH, tapi anaknya nggak adapet KIP,” kata Ubaid.

Program Bantuan Operasional Sekolah juga ditemukan banyak masalah. Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan 2018, ditemukan banyak kasus penyalahgunaan dana.

Misalnya di Kota Serang, Banten, ditemukan tujuh sekolah (lima SMP dan dua SD) menyalahgunakan dana BOS senilai Rp108.278.000 juta. Kemudian di Kabupaten Buleleng, Bali, ditemukan penyalahgunaan realisasi belanja BOS sebesar Rp443,62 juta, penyalahgunaan pengadaan cetak ujian sekolah Rp474,86 juta.

“Pertanyaan saya adalah sampai saat ini mekanisme pertanggungjawaban BOS masih tetutup dan itu hanya diketahui oleh pihak sekolah dan itupun nggak semuanya. Hanya kepala sekolah, guru nggak tahu. Banyak temen-temen JPPI ingin tau apakah laporan BOS dapat diakses atau nggak di sekolah, ternyata nggak bisa diakses. Padahal BOS adalah informasi publik yang siapapun boleh akses.”

Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, menurut Ubaid, Nadiem perlu mendengarkan aspirasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan pendidikan nasional.

“Intinya masyarakat sipil itu penting untuk didengarkan oleh pemerintah dan juga dilibatkan dalam proses perencanaan dan juga sampe proses evaluasi apakah kebijakan itu well implemented atau ada masalah di lapangan.”

Yang harus Nadiem prioritaskan sekarang, menurut Ubaid, menata peningkatan kualitas guru. Menurut dia, sampai sekarang kompetensi guru masih rendah.

Kalau perlu, kata dia, UN diadakan untuk guru sebagai bahan pemetaan kualitas dan perumusan strategi intervensi.

“Apalagi kalau tahun depan misalnya ada PPDB dan masih harus gunakan zonasi, pasti ribet lagi. Karena nggak ditata dulu kualitas sekolahnya, nggak diratain sekolahnya, tapi kemudian langsung dengan zonasi, pasti ribut lagi,” kata dia.

Belum lagi, pelajar sekarang memiliki permasalahan terhadap literasi digital. Sebagian besar anak sekolah memiliki handphone, tapi justru tidak boleh dibawa ke sekolah.

“Jadi belum ada formulasi yang bagus supaya anak-anak tetap gunakan HP atau ada aturan seperti apa, bagaimana dia (pelajar) bisa memilah, oh ini informasi fakta, ini informasi yang fake misal,” ujarnya.

“Digital itu menjadi penting jika dikawinkan dengan integritas, soal moral, soal pendidikan karakter dan soal lima tahun yang lalu Jokowi gagal. Pendidikan karakter di sekolah gagal, kekerasan makin meningkat, nggak hanya ke ke siswa, ke guru juga banyak, guru ditonjokin siswanya atau orang tuanya banyak. Artinya apa? Pendidikan karakter yang harusnya clear di level sekolah itu lima tahun kemarin itu gagal. Bagaimana itu mengawinkan problem-problem yang cukup ruwet ini dengan visioner digital.”

Walau terdapat banyak masalah, Ubaid optimistis terhadap Nadiem. Dia yakin Nadiem bisa membawa perubahan pendidikan di Indonesia dalam lima tahun mendatang.

Tapi, dia mengingatkan, visi yang visioner serta progresif bisa gagal kalau Nadiem tidak melihat kondisi yang terjadi di lapangan.

“Sekolah ruangan aja rusak semua, 50 persen ke atas rusak semua, guru-gurunya kualifikasinya diangka 50-60 persen. Jadi visi yang besar nggak akan bisa mendarat di lapangan dan itu akan gagal di tengah jalan,” katanya.

Hal lain yang menurut Ubaid perlu Nadiem ketahui adalah pengangguran paling tinggi justru lulusan Sekolah Menengah Kejuruan.

Fakta di lapangan menunjukkan sebagian SMK tidak ada bengkel atau tempat untuk praktik sehingga murid lebih banyak belajar teori, padahal mereka masuk sekolah kejuruan. Begitu lulus sekolah, mereka tidak siap sehingga tidak terserap industri.

“Guru-gurunya juga guru teori yang nggak ngerti lapangan segala macam, akibatnya ketika mereka lulus tidak mampu diserap oleh dunia kerja. Jadi ini bisa baik karena visioner anak muda (Nadiem) dan digital, tapi akan menjadi gagal di tengah jalan satu periode kalau tidak melihat kondisi yang ada di lapangan.”

“Kurikulum sebagus apa kalau dicreate, tapi guru (bermasalah) yang mendeliver kurikulum itu ke anak-anak akan menjadi masalah,” Ubaid menambahkan. []

Leave a reply