Menghapus label sekolah favorit

0
107

Penerimaan peserta didik baru (PPDB) kerap diwarnai kecurangan karena orang tua ingin anaknya masuk sekolah favorit.

Dalam sebuah acara di Kantor Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PKM), Jakarta Pusat pada Selasa (9/7), Menko PMK Muhadjir Effendy mengungkapkan, ada pejabat yang memindahkan anaknya ke sekolah favorit ketika proses penerimaan peserta didik baru (PPDB). Menurutnya, di setiap kota dan daerah, sekolah negeri favorit diburu orang tua dengan segala cara. Maka, di situ praktik penyimpangan terjadi.

“(Sekolah favorit) menjadi titipan para pejabat. Istri-istrinya pejabat juga direkomendasi dipindah di sekolah favorit itu,” kata Muhadjir.

PPDB adalah sistem warisan Muhadjir, kala ia masih menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pada 2019 lalu. Saat itu, Muhadjir menegaskan, aturan baru tersebut merupakan peneguhan dan penyempurnaan dari sistem zonasi yang dirintis sejak 2017. Muhadjir pun percaya, dikotomi sekolah favorit dan nonfavorit bakal hilang bersamaan dengan penerapan sistem zonasi karena penerimaan siswa baru lebih mempertimbangkan jarak dari rumah ke sekolah.

Namun, praktik culas tetap berjalan. Selain jual-beli kursi di sekolah favorit, ada pula orang tua yang sengaja memindahkan data kependudukannya di lokasi yang lebih dekat dengan sekolah favorit.

Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, pemerintah belum mampu menghapus stigma soal sekolah favorit. Ia mengatakan, label sekolah favorit menandakan pendidikan belum setara secara utuh. Bahkan terkesan tidak adil karena memperlebar kesenjangan dan mempertajam kelas-kelas sosial.

Penyulut masalahnya adalah sistem seleksi, yang mengakibatkan setiap orang tua menghalalkan segala cara untuk memasukkan anaknya ke sekolah favorit. Hal ini dilakukan karena kursi yang kurang dan mutu sekolah yang timpang.

“Pemerintah harus serius melakukan pemerataan mutu sekolah. Data hasil asesmen nasional itu mestinya bisa dilakukan. Tapi sayangnya, data asesmen nasional itu disimpan di laci saja,” kata Ubaid kepada Alinea.id, Selasa (16/7).

Ubaid percaya, langkah pemerataan bisa dilakukan dalam waktu dekat. Syaratnya, harus ada target dan pencapaian yang jelas. Butuh pula kemauan politik dari pemerintah pusat dan daerah.

Sayangnya, kata Ubaid, presiden saja belum menganggap sektor pendidikan sebagai sektor prioritas. Hanya dipandang sebagai pelengkap “penderita”.

“Kalau ibarat dalam rumah tangga, ya seperti anak tiri. Diurus iya, tapi bukan prioritas utama,” ujar Ubaid.

Sementara itu, pengamat pendidikan Doni Koesoema Albertus memandang, pemerintah memperlakukan sekolah swasta sebagai anak tiri. Padahal, swasta adalah mitra yang setara dalam menyediakan akses pendidikan.

Doni menuturkan, sekolah swasta memberikan cukup ruang bagi anak-anak untuk belajar ketika negara tak cukup memberikan kursi di sekolah negeri.

“Rasanya, (sekolah swasta) masih dipandang sebelah mata. Padahal mencerdaskan anak-anak bangsa adalah misi kedua belah pihak,” tutur Doni, Selasa (16/7).

Lebih lanjut, Doni memandang, sekolah favorit tidak ditentukan oleh pihak sekolah itu sendiri, melainkan persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat sendiri tergantung dari hasil pendidikan sebuah sekolah. Akhirnya, sekolah yang dianggap favorit sebagai sekolah berkualitas.

Tidak heran, kata Doni, persepsi ini tidak bisa hilang. Namun, sekolah favorit bukan penyebab pendidikan di Indonesia tidak berkembang. Karena penyebab pendidikan tidak berkembang ada pada kualitas guru, sarana-prasarana, kurikulum, hingga evaluasi. Meski mayoritas keunggulan aspek tersebut tetap ada pada label sekolah favorit.

“Jadi, sekolah favorit dalam konteks PPDB tidak langsung menjadi sumber kecurangan. Yang menjadi sumber kecurangan adalah ketidakmampuan pemerintah menyediakan pendidikan secara berkualitas dan merata,” kata dia.

Comments are closed.