Jokowi: Ada Ideologi Tak Toleran yang Mengancam Indonesia

0
783

JAKARTA – Presiden Joko Widodo mengatakan, Indonesia sedang ditantang oleh sejumlah pandangan dan tindakan yang mengancam kebhinekaan dan keikaan, serta sikap tak toleran.

Hal itu ditandaskan Presiden Jokowi saat memberikan sambutan dalam upacara peringatan Hari Lahir Pancasila di halaman Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat, Kamis (1/6)

“Dewasa ini, perlu diakui, kehidupan berbangsa dan bernegara kita sedang mengalami tantangan. Sejumlah pandangan dan tindakan yang mengancam kebinekaan dan keikaan kita mulai bermunculan,” kata Jokowi.

“Ada sikap tidak toleran yang mengusung ideologi lain selain Pancasila. Dan semua itu diperparah oleh penyalahgunaan media sosial, oleh berita bohong, oleh ujaran kebencian yang tidak sesuai dengan budaya bangsa kita,” tandasnya pula. Presiden Jokowi memperingatkan agar bangsa Indonesia belajar dari pengalaman bangsa lain yang dihantui oleh radikalisme, konflik sosial, terorisme, dan juga perang saudara.

“Pancasila dan UUD 1945 yang saat ini dimiliki Indonesia sesungguhnya dapat menghindarkan bangsa dari hal-hal yang tak diinginkan itu.’

Ia kemudian  menyerukan, “para tokoh agama, tokoh masyarakat, pendidik, pelaku seni dan budaya, pelaku media, jajaran birokrasi, TNI dan Polri, serta seluruh komponen masyarakat untuk bersama-sama menjaga Pancasila.”

Pakar politik dari Universitas Indonesia, Ani Sutjipto mengatakan, sangat beralasan Presiden Jokowi mengungkapkan hal itu.

“Cukup banyak peristiwa yang mengindikasikan menguatnya intoleransi dan paham radikal yang berkembang saat ini,” kata ANi.

“Misalnya pembongkaran rumah ibadah, penyerangan pada mereka yang berbeda keyakinan. Mengkafir-kafirkan pemeluk agama lain, bahkan orang sesama agama namun beda aliran.”

Menurut Ani, menguatnya paham radikal bukan hanya gejala di media sosial.

“Di kampus-kampus gerakan ini marak. Mereka merekrut mahasiswa baru, lewat mahasiswa senior bahkan dosen-dosennya.”

“Hampir semua ranah kehidupan kita mereka hadir: di sekolah, di tempat kerja, di lingkungan pertemanan bahkan di lingkungan keluarga juga.”

Menurut Ani Sutjipto, fenomena ini mencapai salah satu puncaknya pada kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok gubernur Jakarta yang kalah dalam Pilkada Jakarta lalu dari Anies Baswedan, dan kini dipenjara setelah divonis dua tahun untuk kasus penodaan agama.

Damar Juniarto dari Safenet, lembaga untuk kebebasan berkespresi menyebut, salah satu yang paling menunjukkan maraknya paham ekstrem dan radikal adalah media sosial.

Yang mencemaskan, katanya, belakangan ini yang terjadi bukan sekadar perang opini adau argumentasi ideologi di media sosial, namun juga persekusi terhadap pengguna medsos yang mengunggah pendapat.

“Banyak pengguna media sosial yang unggahan pendapatnya dipandang melecehkan ulama tertentu atau agama tertentu kemudian, diburu, diumumkan identitasnya, didatangi, bahkan terkadang digrebek bersama polisi. Setidaknya ada 55 orang yang sudah mengalami persekusi itu,” kata Damar Juniarto dari Safenet, sebuah lembaga untuk kebebasan berpendapat.

“Kasus paling menyita perhatian adalah penggrebekan terhadap Dokter Fiera Lovita di Solok, dan yang terbaru adalah yang dialami seorang anak umur 15 tahun di Jakarta, yang sampai ditampar segala saat disidangkan oleh sejumlah orang,” tambah Damar kepada Ging Ginanjar dari BBC Indonesia.

“Persekusi itu di satu sisi, melanggar sangat banyak hukum, meindas hak berpendapat, juga menimbulkan keresahan. Di sisi lain menunjukkan bangkitnya pandangan radikal dalam kehidupan sehari-hari, yang harus jadi perhatian aparat,” tandas Damar Juniarto pula.

Masalahnya, kata pakar politik UI, Ani Sutjipto, “Yang menganut paham radikal juga ada dimana-mana. Bukan cuma ustdaz tapi sampai penyelenggara negara, pejabat, kaum profesional dokter pendidik. Jadi betul-betul serius situasinya.”

Jadi, kata Ani Sutjipto pula, “Sekarang ini memang harus dituntut ketegasan presiden dalam membendung gelombang paham radikal ini, karena situasi sudah kritis.”

Leave a reply