Indonesia Harus Melindungi Minoritas Keagamaan di Yogyakarta!

0
820

Sebagaimana jamak diketahui publik, telah terjadi pembubaran acara bakti sosial yang diselenggarakan Gereja Katolik St Paulus Pringgolayan, Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Senin (29/1) oleh 50-an orang laskar Front Jihad Islam (FJI), Forum Umat Islam (FUI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Mereka menuding acara bakti sosial tersebut sebagai agenda kristenisasi. Sejatinya acara tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara dalam rangka memperingati catur windu (32 tahun) Gereja Katolik St Paulus dan peresmian paroki dari paroki administratif menjadi paroki mandiri. Panitia akhirnya membatalkan kegiatan dimaksud.

Kita harus terus menyatakan keprihatinan atas terus berulangnya diskriminasi dan intoleransi serta tindakan vigilante menggunakan sentimen keagamaan terhadap yang lain (liyan) dengan identitas keagamaan yang berbeda. Tindakan main hukum sendiri semacam itu mesti kita baca sebagai ancaman terhadap harmoni dan kedamaian sosial di tengah kebinekaan Indonesia.

Di samping itu, SETARA Institute sangat menyayangkan pernyataan otoritas pemerintahan negara di tingkat lokal. Pertama, statemen Sultan Hamengkubuwono X mengenai pembatalan acara karena disatroni ormas tersebut. Sultan menyatakan ketidaksetujuan terhadap bakti sosial yang mengatasnamakan gereja di tengah lingkungan warga muslim, sebab hal itu berpotensi memicu gesekan. Kedua, pernyataan Kepala Polisi Resor Bantul DI Yogyakarta, AKBP Sahat M Hasibuan. Kepada media, Kapolres mengatakan bahwa penolakan bakti sosial itu terjadi karena kurangnya komunikasi pihak Gereja dengan masyarakat.

Pernyataan Gubernur dan Kapolres tersebut jelas-jelas problematik. Pertama, sikap dalam ekspresi verbal tersebut jelas menyalahkan pihak korban (blaming the victim). Ini sesungguhnya pola lama respons pemerintah dan aparat atas berbagai kasus intoleransi, diskriminasi, pelanggaran atas hak-hak minoritas keagamaan dimana pemerintah cenderung menjadikan korban sebagai objek blaming, scapegoating (pengkambinghitaman), bahkan kriminalisasi. Kedua, pernyataan kedua otoritas negara di tingkat lokal tersebut menunjukkan kuatnya favoritisme negara atas kelompok warga tertentu sekaligus penyingkiran (exclusion) kelompok lainnya. Aparat negara seharusnya memberikan perlindungan terhadap hak-hak minoritas sebagai prasyarat tegaknya demokrasi (democracy requires minority rights).

Terakhir, SETARA mengapresiasi kuatnya perspektif dan standing position toleransi dan kebinekaan yang ditunjukkan Bupati Bantul, Suharsono. Beliau memberikan pernyataan kuat bahwa “Semua agama yang diakui di Indonesia harus dihormati. Tidak bisa suatu ormas melarang kegiatan dari agama yang diakui sepanjang tidak melanggar aturan berlaku.”(REL)

Leave a reply