Indonesia Darurat Literasi
Banyak keluarga belum membiasakan anak-anak untuk membaca
JAKARTA – Minat membaca masyarakat Indonesia terbilang masih cukup rendah saat ini. Berdasarkan Indeks Aktivitas Literasi Membaca Kemendikbud 2019, tidak ada satu provinsi pun yang termasuk ke dalam level aktivitas literasi tinggi dan sangat tinggi.
Hanya 9 dari 34 provinsi yang masuk kategori aktivitas literasi sedang, sedangkan provinsi masuk kategori rendah, dan 1 provinsi masuk kategori sangat rendah. Budaya literasi Indonesia bahkan di urutan 60 dari 61 negara pada 2016, menurut studi Central Connecticut State University, Amerika Serikat.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan, Ubadi Matraji, mengatakan, ondisi Indonesia memang darurat literasi. Rendahnya tradisi membaca ini pun disebut sebagai ‘biang kerok’ rendahnya nilai kemampuan membaca Indonesia di Programme for International Student Assessment (PISA) 2018.
“Anak-anak di sekolah malas membaca buku dan lebih suka menonton dan bermain gawai,” kata Ubaid kepada Validnews, Selasa (24/12).
Dia berpendapat, masalah ini disebabkan karena tidak dibiasakannya membangun minat membaca dalam keluarga. Lalu ini diperparah dengan belum baiknya tradisi membaca di sekolah-sekolah. Jadi budaya literasi absen di lingkungan keluarga, sekolah, hingga ruang-ruang publik.
“Ya karena memang tidak ditradisikan membaca. Bahkan, di sekolah-sekolah banyak yang tidak ada fasilitas perpustakaan. Kalaupun ada, tidak dikelola dengan baik dan banyak juga yang ditelantarkan,” ujarnya.
Menurut Ubadi, tradisi membaca sebaiknya sudah dibangun sejak anak-anak. Konten buku-bukunya pun harus menarik dan disesuaikan dengan dunia anak dan perkembangan zaman.
Di Jepang, dia mencontohkan, masyarakat sudah didekatkan dengan buku sejak kecil. Di tempat-tempat umum di Negeri Sakura itu pun disebut banyak galeri buku.
“Masyarakatnya juga meneladankan baca buku di tempat-tempat umum. Ini sederhana, tetapi dampaknya luar biasa. Anak-anak sejak dini bisa melihat ini dan mereka bisa mencontoh,” jelasnya.
Sekolah-sekolah di Indonesia, kata Ubaid, juga harus membuat program revitalisasi perpustakaan. Selain itu, perlu dilakukan pembinaan literasi untuk keluarga dan masyarakat yang diinisiasi oleh sekolah.
Berdasarkan data Perpustakaan Nasional 2016, tingkat ketersediaan perpustakaan sekolah/madrasah hanya 42% yaitu 121.187 perpustakaan tersedia dari kebutuhan 287.631 perpustakaan. Ketersediaan perpustakaan umum pun jumlahnya baru 23.611 dari kebutuhan seharusnya 91.191 perpustakaan, atau baru memenuhi 26%.
Total secara keseluruhan, ketersediaan perpustakaan baik perpustakaan nasional, umum, khusus, sekolah/madarasah, dan pendidikan tinggi baru 20%, yaitu 154.359 dari kebutuhan sebanyak 767.951.
Indeks Aktivitas Literasi Membaca Kemendikbud 2019 mencatat hanya 3 dari 34 provinsi yang masuk kategori ‘sedang’ atas akses terhadap perpustakaan dan keluarga yang membeli surat kabar atau tabloid. Sedangkan 16 provinsi masuk kategori rendah dan 15 provinsi masuk kategori sangat rendah.
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.