Dana BOS untuk Honorer Kontradiktif dengan Peraturan
Jakarta, Beritasatu.com – Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengatakan, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) maksimal 50% untuk gaji guru honorer kontradiktif dengan peraturan yang ada.
Ubaid mempertanyakan, apa sebenarnya yang dinginkan pemerintah. Sebab, selama ini pemerintah telah berjanji untuk mengangkat guru honorer sebagai pegawai negeri sipil (PNS) ataupun pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Namun yang terjadi malah dana BOS digunakan untuk menggaji guru honorer.
“Jadi yang benar yang mana ini kebijakan pemerintah? Belum lama ini juga kan diusulkan agar honorer dihapus. Lalu dengan adanya kebijakan 50% anggaran BOS untuk gaji guru honorer, bukannya dana BOS itu sangat mepet untuk operasional sekolah? Harusnya honorer kan diberikan dari pos lain, atau yang lebih strategis statusnya harus diperjelas. Kalau operasional dikurangi banyak, maka itu akan mengundang pungli,” kata Ubaid saat dihubungi SP, Senin (17/2/2020).
Ubaid juga menyebutkan, skema maksimal 50% untuk gaji guru ini berpotensi diskriminatif. Sebab ada prasyarat guru honorer tersebut harus memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Pada kenyataannya, sangat banyak guru honorer, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta, yang belum punya NUPTK.
Menurut Ubaid, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sebaiknya merevisi kembali Permendikbud Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Dana BOS untuk menghindari diskriminasi terhadap guru honorer.
“Dengan syarat NUPTK ini, banyak guru honorer yang tidak bisa mengakses dana BOS. Itulah kenapa saya katakan kebijakan ini hanya gertak sambal dan tidak strategis sama sekali, dan NUPTK ini akan menimbulkan masalah baru,” ucapnya.
Ubaid mengusulkan, apabila pemerintah ingin dana BOS menjadi salah satu solusi untuk kesejahteraan guru, sebaiknya jangan ada persyaratan NUPTK. Dengan demikian, semua guru honorer dapat menerima dana tersebut. Pasalnya, dari jumlah guru honorer yang terdaftar saat ini, separuhnya tidak memiliki NUPTK.
Selanjutnya, Ubaid menuturkan, pemerintah seharusnya mewaspadai banyak hal dalam membuat kebijakan baru terkait pengelolaan dana BOS ini. Pasalnya, permasalahan dana BOS ini bukan hanya terkait dengan telatnya pencairan, tetapi juga pengelolaannya yang masih tertutup dan tidak partisipatif.
“JPPI menemukan selama ini, pengelolaan dana BOS ini hanya dilakukan oleh kepala sekolah dan bendahara tanpa melibatkan elemen lain,” ujarnya.
Menurut Ubaid, sebelum melakukan transfer langsung, pemerintah seharusnya melakukan sosialisasi kepada para guru dan kepala sekolah. Sebab, tidak semuanya paham pengelolaan dana BOS.
“Harus pemerintah yang menginisiasi pelatihan pengelolaan dana BOS secara akuntabel, transparan, dan partisipatif sebelum dana BOS ditransfer. Apabila mereka tidak bisa mengelola secara transparan dan akuntabel, maka berpotensi besar menjadi jebakan masuk bui,” ujarnya.
Sebagai informasi, Kementerian Keuangan telah menyalurkan dana BOS reguler Tahap I Gelombang I sebesar Rp 9.803.214.420.000 untuk 136.579 sekolah. Sekolah penerima dana BOS ini dipilih berdasarkan rekomendasi dari Kemdikbud.
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.