Catatan Yanuar Nugroho: ‘Geoekonomi Digital’
Catatan Yanuar Nugroho (Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI )
TRIBUN-MEDAN.COM – Dalam beberapa seminar dan diskusi di UGM Yogyakarta, Universitas Padjadjaran Bandung, Universitas Andalas Padang dan Universitas Hasanuddin Makassar tiga bulan terakhir ini, saya menangkap kegelisahan sejumlah mahasiswa tentang beberapa profesi yang diperkirakan akan menyusut drastis seiring dengan perkembangan ekonomi digital. Pertanyaan kunci mereka adalah, “Jika banyak profesi dan pekerjaan manusia akan digantikan oleh mesin, bagaimana kami yang masih muda ini akan memperoleh lapangan pekerjaan?”
World Economic Forum (WEF) memang memperkirakan, dalam periode 2015 hingga 2020 mendatang, terdapat jutaan pekerjaan akan berkurang dan digantikan oleh mesin, robot, artificial intelligence, dan perangkat komputasi lainnya. WEF membuat enam kelompok pekerjaan yang jumlahnya akan menurun signifikan selama lima tahun.
Administrasi perkantoran adalah sektor kerja yang paling banyak akan menutup lapangan kerja bagi manusia, sekitar 4,8 juta. Disusul manufaktur dan produksi yang akan mengurangi hingga 1,6 juta tenaga kerja.
Peringkat ketiga adalah konstruksi dan ekstraksi yang akan meminggirkan setengah juta manusia, lalu disusul desain, seni, hiburan, dan media sebesar kurang lebih 150 ribu orang.
Sektor hukum dan legal akan menyusut hingga 100 ribu lapangan kerja, dan instalasi dan pemeliharaan akan menyusut hingga 40 ribu (Future of Jobs Report, WEF, 2016).
Dua tahun sejak laporan tersebut dilansir, perkiraan WEF mulai jadi kenyataan. Bisnis-bisnis yang mulai menunjukkan deformasi dalam hal lapangan pekerjaan antara lain adalah perbankan dan perminyakan (ekstraksi).
Di dalam industri perbankan, bank-bank besar di tanah air mulai tahun ini sudah akan membuka mesin teller yang akan menggantikan pegawai-pegawai yang melayani konsumen.
Sejak September 2016, transaksi perbankan daring (online banking) sudah melampaui transaksi yang dilakukan di cabang-cabang. Sementara industri perminyakan juga mulai mengurangi karyawan-karyawan mereka, terutama untuk pekerjaan-pekerjaan kantoran, sejak awal tahun 2017.
Bagaimana menanggapi ini? Sebagaimana semua hal di bawah kolong langit, selalu ada sisi lain dari setiap kenyataan. Sketsa ringkas berikut mencoba membantu memetakan perubahan di zaman baru ini.
Zaman baru, lapangan baru, peluang baru
Kita masuk ke zaman baru. Zaman yang disebut dengan zaman revolusi industri ke-4 – atau industry 4.0. Di zaman ini, ada sejumlah penanda pokok: muncul dan berkembangnya sistem fisik-siber (cyber-physical systems yang menyatukan dunia fisik, digital, dan biologis), the Internet of things, cloud computing, dan cognitive computing. Industry 4.0 ini membawa sejumlah dampak disruptif – salah satu yang utama adalah lapangan kerja.
Masifnya informasi tentang menyusutnya lapangan pekerjaan, yang kemudian dikonsumsi secara mentah oleh anak-anak muda pencari dan calon pencari kerja, memang tidak diiimbangi secara sepadan dengan berita tentang munculnya profesi-profesi baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Di dunia media misalnya, sebelum tahun 2012, praktis tidak dikenal suatu posisi atau jabatan yang disebut digital media strategist. Juga tidak dikenal digital media analyst.
Kini, kedua posisi ini menjadi kunci kemajuan industri media yang mau-tidak mau harus bermetamorfosis secara adaptif ke lansekap digital.
Dalam bidang teknologi informatika, sebelumnya orang hanya mengenal profesi pemrogram (programmer) atau perancang web (web developer). Namun dalam kurun waktu 4 hingga 5 tahun terakhir, profesi tersebut telah membelah diri dengan spesialisasi yang makin runcing. Ada yang disebut search engine optimiser. Ada pula pekerjaan baru yang disebut user experience designer atau front-end developer. Spesialisasi ini dituntut karena makin meluasnya spektrum pengguna internet dengan berbagai kebutuhan yang makin personal.
Ketika fenomena industri perbankan dihadapkan pada peningkatan efisiensi yang berimbas pada pengurangan pekerjaan, ingatan orang langsung melayang pada pernyataan Bill Gates tahun 1994 yang secara kontroversial mengatakan bahwa di masa depan, “… banking is necessary, but banks are not.”
Saat itu, semua orang terhenyak mendengar pernyataan pendiri Microsoft tersebut, mengingat industri perbankan pada waktu itu justru sedang kuat-kuatnya. Tapi, seperempat abad kemudian, pernyataan itu seperti nubuat yang terwujud.
Sama seperti nubuatnya tahun 1980-an saat ia mengatakan bahwa komputer akan mengisi setiap rumah yang ada di kolong langit ini. Ia benar. Tidak hanya mengisi setiap rumah, hari ini perangkat komputasi sudah mengisi setiap kantong celana manusia.
Jika dikupas lebih dalam, industri keuangan dan perbankan hari ini, yang di permukaan seolah-olah telah mengubur ratusan ribu lapangan pekerjaan lama, sebenarnya memberikan peluang dan lapangan baru yang tidak kalah besar.
Teknologi keuangan (financial technology) atau populer disebut fintech, berubah secara transformatif dari yang bersifat administratif ke arah solusi kreatif.
Meskipun dari sisi taksonomi pekerjaan definisi seperti analis atau manajer projek masih menggunakan pengertian lama, kategori ini juga mengalami pembelahan yang makin terspesialisasi, sehingga melahirkan ruang-ruang baru dalam urusan lapangan pekerjaan. Pemahaman akan bagaimana crypto-currency bekerja misalnya, akan meningkatkan peluang kerja di sektor keuangan di zaman digital ini.
Dalam sektor industri transportasi dan wisata pun, sekalipun banyak biro perjalanan dan biro wisata tradisional harus gulung tikar, kemunculan layanan transportasi dan wisata berbasis digital seperti traveloka, airbnb hingga tripal telah melahirkan berbagai jenis kategori pekerjaan baru yang lebih spesifik.
Di dunia bisnis pada umumnya, sebelum tahun 2014 istilah data scientist atau data analyst juga masih terdengar asing di kalangan pencari kerja. Tapi kini kedua profesi itu amat dibutuhkan, bahkan juga di dunia pemerintahan, yang sering dianggap lambat dibandingkan bisnis. Keahlian khusus di bidang big data analytics, augmented reality, dan virtual reality, akan sangat dibutuhkan sebagai seorang strategist, baik di perusahaan swasta, maupun pemerintah.
Perencanaan pembangunan yang akurat membutuhkan tak hanya data dan evidence, tetapi kemampuan perencana yang mengerti proses-proses teknokratik di zaman digital. Bahkan secara spesifik, keahlian development planner dan digital strategist dibutuhkan sekaligus agar perencanaan pembangunan di era ekonomi digital ini relevan dan tidak ketinggalan zaman.
Tak hanya itu, jangkauan dan dampak teknologi digital ini merambah bahkan hingga di organisasi-organisasi politik.
Di Inggris, 10 tahun yang lalu, partai-partai politik di sana sudah menggunakan augmented reality untuk menganalisis kekuatan dan menyusun strategi elektoralnya. Satu di antara cases tersebut bahkan menjadi bahan disertasi S2 yang saya bimbing sendiri saat itu di University of Manchester.
Saya yakin, di Indonesia, sebentar lagi hal ini akan terjadi. Bayangkan kecanggihan jika mengombinasikan big data analysis, artificial intelligence dengan augmented reality untuk memetakan potensi elektoral sebuah parpol. Lembaga-lembaga survei politik akan segera ditinggalkan jika tak segera meng-upgrade kemampuannya di tengah deru kemajuan digital ini.
Tantangannya adalah apakah mereka yang semula sudah menggeluti pekerjaan ini selama bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun, seperti para karyawan swasta atau birokrat pemerintah bahkan aktivis lembaga masyarakat, mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan deskripsi dan jenis pekerjaan baru dalam sektornya atau tidak. Karena, hukum seleksi alam akan tetap berlaku: “Mereka yang tak mau berubah akan tinggal menjadi catatan sejarah.”
Ekosistem digital
Dalam ekosistem digital, segala sesuatu yang manual, natural, dan mekanis akan tergantikan oleh yang digital. Digital mengandaikan adanya akurasi dan kontrol pada suatu sistem setiap saat (real time).
Kegelisahan anak-anak muda yang saya temui di kampus-kampus terkemuka di negeri ini memperlihatkan masih adanya ketimpangan dan kesenjangan informasi dalam merespons gerak ekonomi baru ini.
Presiden Jokowi yang rajin mendatangi kampus-kampus di tanah air, mengingatkan pentingnya kita bergerak cepat dan lincah untuk merespons ekonomi model baru ini.
Ia mengingatkan bagaimana fakultas-fakultas dan jurusan-jurusan di kampus-kampus perguruan tinggi terkemuka untuk membuka program studi-program studi baru yang adaptif terhadap kebutuhan di dunia ekonomi digital.
Dua contoh yang mengemuka dan disebutkan oleh Presiden adalah industri media dan manajemen logistik.
Dalam konteks itu, Jokowi menginginkan adanya suatu ekosistem yang berubah di lingkungan perguruan tinggi sebagai pemasok utama kebutuhan di dunia kerja.
Untuk mengubah ekosistem yang adaptif terhadap perubahan, perguruan tinggi dituntut untuk mencari terobosan dan inovasi, sehingga anak-anak muda ini mendapatkan gambaran, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai dalam bidang ilmu yang digelutinya, sesuai dengan proses digitalisasi pada bidang-bidang ilmu yang ditawarkan oleh perguruan tinggi.
Tak hanya itu, Presiden Jokowi berulang kali juga menyatakan pentingnya membukakan wawasan baru bagi anak-anak muda untuk terjun dalam kewirausahaan.
Pada tingkat ini, Pemerintah berupaya untuk terus membangun ekosistem-ekosistem kewirausahaan sehingga mereka dapat memanfaatkan potensi yang tersimpan dalam gerak zaman ekonomi digital ini.
Usaha yang dilakukan oleh Presiden Jokowi tersebut memiliki resonansi yang kuat dengan jejak rekam keberhasilan para ‘penguasa’ ekonomi digital. Salah satu karakter unik dari industri perusahaan pemula atau start-up berbasis digital adalah faktor diferensiasi dan daya saing yang didasari oleh kemampuan identifikasi masalah serta potensi solusi di tingkat yang sangat mendalam.
Hal yang mungkin dilihat kecil oleh organisasi konvensional, seperti penyajian user interface, ternyata bisa menjadi pembeda besar di industri ini. Misalnya satu unicorn startup di bidang music, spotify, berhasil menggandakan tingkat penggunaan hanya dengan menggelapkan warna latar belakang aplikasi. Sensitivitas dan kepekaan menemukan permasalahan sosial tidak pernah menjadi sepenting saat ini.
Tingginya tingkat kapabilitas digitalisasi suatu organisasi niscaya tersiakan tanpa kemampuan identifikasi permasalahan yang presisi. Maka, jelaslah pentingnya soft skill dan pemaparan siswa terhadap isu sosial dalam pengembangan kapasitas pengajaran atau pelatihan hard skill di ranah digitalisasi.
Salah satu faktor diferensiasi lain adalah kemampuan kapitalisasi nilai perusahaan yang tidak jarang ditentukan oleh faktor soft lainnya seperti jejaring. Kapitalisasi perusahaan dan usaha perolehan dana investasi sangat berpengaruh dalam membangun perusahaan pemula.
Hampir semua perusahaan pemula yang saat ini bernilai lebih dari USD 1 miliar belum menghasilkan profit dan menggantungkan pembesaran skala perusahaan dengan subsidi harga pada para penggunanya. Bagaimana caranya? Suntikan dana investor.
Tak jarang perusahaan pemula yang berawal dengan kapasitas teknis terbatas, berhasil berkembang lebih pesat dari perusahaan lain dengan kapasitas teknis yang lebih baik, dikarenakan keunggulan jejaring pendirinya.
Lihatlah Tokopedia. Awalnya ia harus berhadapan dengan nama besar seperti Lazada. Tapi William Tanuwijaya dan jejaringnya sukses mendatangkan investasi. Investasi berarti subsidi; subsidi berarti traffic dan economic scale. Kini Tokopedia menjadi e-commerce terbesar di Indonesia.
Belajar dari sini, kebutuhan jejaring, institusi intermediasi, konsorsium teknologi semakin tidak terhindarkan jika ingin meraup manfaat di jaman ekonomi dan di tengah ekosistem digital ini.
Selain itu, penting melihat kebijakan pemerintah, agar bisa menyiapkan kebijakan untuk memberi insentif yang tepat.
Hal ini dibutuhkan karena ekosistem digital membutuhkan kebijakan yang visioner. Misalnya, sektor online transportation yang masih menanggung beban konflik dengan sektor transportasi konvensional.
Insentif pajak juga harus lebih adil agar lebih banyak UMKM yang masuk ke ranah e-commerce atau berjualan secara online tidak takut ‘naik kelas’.
Saat ini, mereka lebih suka mempertahankan statusnya sebagai pedagang kecil, karena begitu naik kelas ke pedagang menengah, beban pajaknya langsung dirasakan amat tinggi.
BUMN yang bergerak di ranah digital juga harus mengubah mind-set dan mengikuti persaingan di ekosistem digital dengan lebih fair. Ini perlu untuk mendorong munculnya kretivitas digital.
Jelas, main blokir sejumlah aplikasi yang dilihat jadi pesaing anak usaha BUMN telco bukanlah solusi. Terakhir, memastikan tersedianya konektivitas internet dan back bone jaringan yang memadai dengan segera.
Dengan jumlah penduduk bumi yang mencapai 7,6 miliar jiwa dan 53%-nya sudah mengakses internet, potensi yang terkandung dalam ekosistem digital yang baru ini amat luar biasa. Namun, tak perlu bermimpi menjangkau miliaran kepala.
Dengan penduduk lebih dari 265 juta dan separuhnya sudah mengakses internet, anak-anak muda republik ini sangat potensial diajak untuk memasuki wilayah-wilayah baru yang menantang spirit dan keahlian mereka. Implikasinya jelas: jika kita mau mentransformasi anak-anak muda republik seiring transformasi di jaman digital ini, kita perlu menciptakan atmosfir agar transformasi itu terjadi.
Ekonomi digital adalah fenomena utama revolusi industri ke-4 ini. Strategi dan kebijakan yang tepat untuk menjawab tantangan dan meraih peluang ini akan menjadi kunci mewujudkan cita-cita Indonesia di masa depan.
Yanuar Nugroho, Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Budaya, dan Ekologi Strategis, Kantor Staf Presiden RI. Email : [email protected] Twitter : @yanuarnugroho
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.