Article 33: Kualitas Pendidikan Solusi Atasi Kesenjangan
Jakarta — Article 33 Indonesia menggelar diskusi publik dengan Tema: Kualitas Pendidikan dan Kesenjangan. Diskusi menghadirkan sejumlah panelis kunci dari para pemangku kepentingan. Diskusi ini sekaligus untuk mempresentasikan hasil studi Article 33 Indonesia dengan judul Kualitas Pendidikan dan Mobilitas Ekonomi. Kegiatan ini berlangsung di Jakarta Rabu(18/7).
Para panelis , Santoso & Ramada Febrian, Direktur Eksekutif dan Peneliti Article 33 Indonesia, Jakarta dengan “Kualitas Pendidikan dan Mobilitas Ekonomi: Analisis Data IFLS”, Ir. Suharti, M.A., Ph.D., Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia, “Usaha Pemerintah dalam Mendorong Peningkatan Kualitas Pendidikan” , Prof. Mayling Oey-Gardiner, Ph.D., Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. “Pendidikan dan Perannya dalam Penurunan Kesenjangan” serta Nisa Felicia, PhD (Dekan Fakultas Pendidikan, Universitas Sampoerna), Jakarta “Faktor-faktor yang Terkait dengan Kemampuan Kognitif Siswa Sekolah Dasar (SD) di Indonesia Timur”.
Diskusi diharapkan dapat memberikan perpsektif, masukan, dan rekomendasi tentang bagaimana pendidikan dikelola, dikembangkan, termasuk perannya dalam memberi kontribusi pada penurunan kesenjangan di Indonesia.
Beberapa analis regional mengatakan dengan tata kelola yang lebih komprehensif, masa depan pendidikan Indonesia diharapkan menuju ke arah yang lebih berarti, guna menekan kesenjangan sekaligus mewujudkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kualitas SDM terbaik dan cukup produktif.
Analis mengatakan kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan utama setiap Negara di dunia tidak terkecuali Indonesia. Beberapa tahun ini, Indonesia telah mengeluarkan pelbagai macam kebijakan yang berfokus pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat seperti halnya pembangunan infrastruktur untuk peningkatan mobilitas masyarakat dan perbaikan logistik, peningkatan kesempatan lapangan pekerjaan dengan pemberian Kredit Usaha Rakyat, jaminan pendidikan nasional dengan Kartu Indonesia Pintar, ataupun jaminan kesehatan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Indikator capaian dari berbagai usaha pembangunan tersebut salah satunya tercermin secara sederhana dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), berdasarkan Publikasi Badan Pusat Statistik tahun 2018, yang konsisten terus tumbuh hingga 2017. Hasilnya, pada tahun 2017, PDB Indonesia berdasarkan harga konstan tahun 2010 sudah mencapai angka Rp 9.912,7 triliun.
Distribusi kesejahteraan
Peningkatan perekonomian yang diukur menggunakan PDB sejalan dengan kondisi yang digambarkan oleh variabel lain sebagai pengukur kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Indikator hasil pembangunan lain yang mengukur bagaimana kesejahteraan didistribusikan ke seluruh penduduk, tidak hanya golongan tertentu adalah distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan diukur dengan Koefisien Gini yang menunjukan bahwa pada beberapa kondisi ketimpangan di Indonesia sudah mulai memperlihatkan perbaikan. Dari data BPS tahun 2011-2017, koefisien gini nasional menunjukkan tren yang terus menurun. Angka 0.391 yang ditunjukkan pada bulan Maret 2017 menjelaskan bahwa distribusi pendapatan masih belum merata antara kelompok kaya dan miskin.
Masalah pembangunan lain yang menjadi fokus bagi pemerintah adalah tingkat kemiskinan yang tinggi. Pada Maret tahun 2017, persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai angka 10,64% dan bulan September berada angka 10,12%. Hal tersebut berarti masih terdapat sekitar 10 persen dari seluruh total penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah persentase penduduk yang berada sedikit di atas garis kemiskinan yang sangat rentan terhadap gejolak. Kondisi ketimpangan dan kemiskinan yang terjadi di Indonesia menjelaskan bahwa telah terjadi permasalahan dalam tingkat kesejahteraan masyarakat.
Permasalahan kesejahteraan masyarakat sejatinya ditentukan oleh berbagai faktor, seperti halnya jumlah lapangan kerja tersedia, rendahnya tingkat kelahiran, kematian dan tingginya angka harapan hidup (Mckee, 2006; Priebe dan Howell, 2014). Selain itu, hal lain yang dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat adalah kualitas sumber daya dari kepala rumah tangga, aset yang dimiliki rumah tangga, dan lama sekolah yang ditempuh kepala keluarga dan anggota keluarga (Dartanto dan Nurkholis, 2013).
Menurut Sumner dan kawan (2014), faktor yang menentukan peluang seseorang untuk menjadi miskin dan tetap miskin salah satunya adalah pendidikan. Hal tersebut karena pendidikan dapat memberikan kesempatan bagi seseorang untuk lebih sejahtera melalui peningkatan produktivitas dan akhirnya penambahan pendapatan dan daya beli di masa yang akan datang. Berdasarkan asumsi diatas, Indonesia seharusnya menempatkan peningkatan akses dan kualitas pendidikan yang baik untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakatnya.
Tantangan akses pendidikan
Beberapa praktisi menilai dari sisi akses, indikator angka partisipasi kasar (APK) mencapai 108,50 pada jenjang SD, sementara SMP sebesar 90,23 dan SMA/SMK sebesar 82,84 (Publikasi BPS, 2017). Sedangkan angka partisipasi murni (APM) mencapai 97,19 untuk SD, lalu 78,40 untuk SMP dan 60,37 untuk SMA/SMK. Dari angka tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi akses pendidikan untuk pendidikan tingkat SD sudah cukup baik, namun masih terdapat kelompok masyarakat yang belum sekolah di tingkat SMP dan SMA. Selain itu, Angka Partisipasi Sekolah (APS) memiliki pola yang semakin menurun berdasarkan golongan umur yang semakin meningkat. APS tahun 2017 untuk golongan umur 7 sampai 12 berada pada angka 99,08, sedangkan untuk umur 13-15, 16-18, dan 19-24 tahun masing-masing adalah 94,98, 77,20, dan 24,67.
Sarana prasarana pendidikan
Namun, selain akses pendidikan yang menjadi masalah, ternyata terdapat masalah lain di bidang pendidikan yaitu perihal kualitas pendidikan. Beberapa indikator sederhana kualitas pendidikan di Indonesia adalah sumber daya pengajar dan kondisi tempat dilaksanakannya belajar dan mengajar (sarana dan prasarana). Menurut Publikasi kemendikbud dan Badan Pusat Statistik tahun 2017, untuk seluruh jenjang pendidikan pada tahun 2016 dan 2017, angka persentase sekolah dengan kondisi rusak ringan/sedang lebih besar dibandingkan dengan kondisi baik. Terlebih, angka rasio rombongan belajar terhadap ruang kelas yang lebih dari satu pada tahun ajaran 2016/2017 menunjukkan bahwa tidak mencukupinya ruang kelas untuk menjangkau seluruh rombongan belajar. Jumlah perpustakaan yang sedikit juga menjadi penyumbang kualitas pendidikan yang kurang baik. Secara umum ketersediaan ruang perpustakaan belum mencapai angka yang diharapkan, pada tahun 2017 angka tersebut tidak mencapai 80 persen, atau setidaknya 4 dari 10 SD tidak memiliki perpustakaan, diikuti oleh pendidikan jenjang SMP dan SMA yang mencapai angka 3 dari 10 SD dan 4 dari 10 SD. Hal ini menjelaskan bahwa dari sisi sarana prasarana saja, terlihat buruknya kualitas pendidikan.
Diskusi publik Rabu berlangsung cukup interaktif , sebagian besar peserta terdiri dari Kementerian dan Lembaga Pemerintah, Lembaga Riset Kebijakan, Lembaga non pemerintah (NGO), Aktivis dan pemerhati pendidikan, dan kalangan media terkemuka nasional.
Sebelumnya beberapa praktisi mengatakan, baik buruknya kondisi persekolahan siswa, berhubungan dengan kemungkinan mobilitas sosial dan ekonomi siswa tersebut di masa dewasa. Hal itu merupakan temuan sementara penelitian Article 33 Indonesia yang dipaparkan dalam Forum Riset Pendidikan (FORDIK) ke-4 pada tanggal 8 Maret 2018 di Kampus Universitas Paramadina, Jakarta. FORDIK merupakan forum diskusi untuk menyebarluaskan hasil-hasil penelitian di bidang pendidikan. Kegiatan diskusi tersebut dihadiri oleh lembaga penelitian, universitas dan NGO. Studi ini menjelaskan bahwa indikator baik-buruknya persekolahan antara lain kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, tingkat pendidikan guru dan manajemen sekolah, jumlah pelatihan guru, dan pengalaman. Siswa miskin yang bersekolah di tempat yang memiliki sarana dan prasarana yang baik, seperti ruang kelas permanen, tersedia perpustakaan dan lapangan olah raga, mempunyai kemungkinan status sosial ekonominya meningkat setelah dewasa. Sebaliknya, siswa miskin yang bersekolah di tempat yang kurang bagus kualitasnya mempunyai probabilitas yang rendah untuk meningkat kesejahteraannya ketika dewasa. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan menggunakan data Indonesia Family Live Survey (IFLS). IFLS merupakan data longitudinal yang merekam kondisi sosial ekonomi individu dalam rumah tangga sejak tahun 1993 hingga 2015. (Tim)
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.