Alih Wewenang SMA/SMK di Banten Timbulkan Masalah

0
812

Jakarta – Alih kelola SMA/SMK yang menimbulkan banyak persoalan adalah cermin kebingungan otonomi pendidikan. Permasalahan itu diakbibatkan dari diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Terdapat tiga hal yang diserahkan kabupaten/kota kepada provinsi terkait dengan pendidikan, yakni masalah aset sekolah, tenaga Pendidikan dan kependidikan, serta keuangan.

“Tujuan peralihan pengelolaan dari Dinas Pendidikan tingkat kabupaten/kota ke Dinas Pendidikan Provinsi sebenaranya adalah untuk peningkatan pemerataan pendidikan, baik dalam hal peningkatan kompetensi pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, pengawas, maupun kualitas jenjang pendidikan menengah di tingkat provinsi. Tapi pada kenyataannya, ditemukan banyak masalah,” jelas Rowman wahid Koordinator Jaringan Pemuda peduli pendidikan indonesia (JP3I) di acara Focus Group Discussion (FGD), Ciputat, Jakarta Selatan, Rabu (13/12/2017).

Dalam diskusi FGD dengan tema “Advokasi Kebijakan Pendidikan Daearah; Mendorong Implementasi Kebijakan Regulasi dan Anggaran yang Merata dan Berkeadilan” tersebut, bahwa masalah itu tercermin dari hasil penelitian Youth-Led Action Research di 5 (lima) Kabupaten/Kota propinsi Banten, yaitu Tangsel, Serang, Cilegon, Kota Tangerang, Kab. Tangerang.

Pertama, banyaknya pungutan di SMA/SMK. Kebijakan pendidikan gratis untuk SMA dan SMK terpaksa harus berhenti. Akibatnya, kini SMA dan SMK juga mulai menarik iuran dari wali murid untuk per bulannya. Masing-masing sekolah besaran iurannya bervariatif, hingga ada yang mencapi Rp 500 ribu per bulan. Hal itu tergantung dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) serta kesepakatan antara pihak sekolah dan wali murid. Bahkan mahal hingga mencapai 3 juta rupiah per siswa tiap tahun. Dengan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah pusat 1,4 juta rupiah per siswa per tahun, biaya yang harus ditanggung setiap siswa 1,6 juta per tahun.

Kedua, naiknya angka putus sekolah. Terdapat 44,4% anak usia sekolah yang tidak melanjutkan ke SMA/SMK. Pemprov saat ini masih belum ada komitmen yang jelas soal wajib belajar 12 tahun. Akibatnya, angka putus sekolah didominasi tidak mampunya lulusan SMP melanjutkan ke jenjang SMA. Karena adanya kendala biaya, masih cukup banyak mereka yang putus sekolah. Alih wewenang ini tidak menjawab kebutuhan wajar 12 tahun, tapi hanya peralihan wewenang yang justru menimbulkan masalah baru.

Ketiga, status guru honorer tidak menentu. Banyak guru honorer yang diangkat oleh pemeirntah Kab/Kota. Dengan beralihnya wewenang, mereka bisa jadi akan digeser oleh guru-guru honorer baru yang mengantongi SK pemprov. Kekhawatiran ini sudah banyak terjadi di beberapa daerah berdasarkan laporan pengaduan yang diterima JPPI. Karena itu, pemprov tidak boleh hanya sibuk dengan alih wewenang sekolahnya, tapi juga memperhatikan segala hal yang terkait dengan kependidikan.

Keempat, pemerataan guru dan sarana-prasarana. Di banten, ini masih belum terjadi. Masih banyak komplain yang diajukan oleh masyarakat dengan adanya kekurangan guru di sekolah. Masih banyak guru yang hanya masih mengajar saja, tanpa memperhatikan kualitas pembelajaran. Begitu pula dengan sarana dan prasarana. Di banten banyak ditemukan sekolah yang rusak dan tidak layak. Ini juga menjadi perhatian masyarakat banten dan harus diperbaiki.

Kelima, kurangnya ketersediaan pendidikan luar sekolah. Alokasi APBD masih banyak dialokasikan untuk pendidikan formal, dan tidak memperhatikan pendidikan non-formal. Bahkan jika dipersentasikan, tak lebih dari 0,2 persen dari total anggaran Pendidikan di propinsi. Ini perlu menjadi perhatian bersama untuk perbaikan Pendidikan di propinsi.

Karena itu, Rahman mengatakan, kalau kebijakan pengalihan wewenang ini perlu dievaluasi dan diperbaiki.

“Kalau mau memperbaiki kualitas dan juga akses ke jenjang SMA/SMK, pemerintah pusat harusnya membuat kebijakan yang mampu mendorong akses anak-anak untuk ke jenjang SMA/SMK dengan mudah dan berkualitas, bukan malah membebani dengan aturan dan manajemen pengelolaan yang baru tapi tidak berkontribusi pada peningkatan akses dan kualitas”, tegasnya. Menurutnya, Harusnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ini mampu memperbaiki akses dan kualitas Pendidikan, bukan malah memperburuk keadaan.

Leave a reply