Agar Budaya Menyontek Tidak Dianggap Lumrah

0
220

Praktik menyontek di kalangan pelajar seringkali berasal dari sistem pembelajaran yang berorientasi pada angka dan hasil ujian.

Melalui Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan bahwa terdapat kasus menyontek hingga 78 persen di sekolah responden dan 98 persen kampus responden. Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, mengungkapkan hasil survei tersebut menjadi pertanda bahwa kasus menyontek masih dianggap lumrah bagi sekolah dan kampus.

“Adapun berdasarkan survei yang dilakukan yang terkait kondisi integritas di Indonesia, pertama dalam kejujuran akademik, kasus menyontek masih ditemukan pada 78 persen sekolah dan 98 persen kampus. Dengan kata lain menyontek masih terjadi pada mayoritas sekolah dan kampus,” kata Wawan dalam keterangan pers, Kamis (24/4/2025).

Selain merekam mengenai jejak menyontek di bangku sekolah, KPK juga menyoroti ketidakdisiplinan di dunia akademik. Tercatat dalam hasil survei, 69 persen siswa menyatakan masih ada guru yang terlambat hadir, sedangkan menurut 96 persen mahasiswa masih ada dosen yang terlambat hadir.

“Bahkan, di 96 persen kampus dan 64 persen sekolah responden ditemukan masih ada dosen dan guru yang tidak hadir tanpa alasan yang jelas,” kata dia.

Menanggapi laporan KPK tersebut, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, menilai hal ini merupakan lampu kuning terhadap sikap jujur dalam sistem pendidikan. Hasil survei yang dilakukan oleh KPK juga akan menjadi input dalam memperbaiki kinerja baik di kementeriannya maupun di lembaga-lembaga terkait.

“Memang ada alarm ya, ada lampu kuning dari KPK, bahwa kita ini dari sisi kejujuran, itu memang sedang tidak baik-baik saja,” ujar Mu’ti saat ditemui di Gedung Kemendikdasmen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Jumat (25/4/2025).

Mu’ti mengatakan, praktik menyontek di kalangan pelajar seringkali berasal dari sistem pembelajaran yang berorientasi pada angka dan hasil ujian. Termasuk, kata dia, dikarenakan berbagai penugasan atau bentuk soal ujian yang mendorong murid menempuh jalan menyontek.

“Karena itu kami berusaha untuk ke depan memperbaiki agar pendekatan pembelajaran itu lebih menekankan pada hal yang berkaitan dengan penguasaan ilmu, bukan angka-angka,” ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah ini.

Meskipun demikian, Mu’ti menegaskan bahwa laporan itu berdasar pada survei 2024 di mana dirinya belum menjabat sebagai menteri dan mengurusi persoalan negara. Namun, dia mengaku berkomitmen akan memperbaiki persoalan ini menuju pendidikan lebih baik.

“Tapi sekali lagi, kita berusaha perbaiki semua sebagai bagian dari komitmen bahwa bangsa ini harus lebih baik dan bangsa ini bisa lebih baik melalui pendidikan yang lebih baik,” tuturnya.

Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie, menjanjikan adanya penerapan kurikulum antikorupsi di perguruan tinggi berkolaborasi dengan KPK.

“Sehingga kami akan berkolaborasi dengan KPK untuk pengembangan pendidikan antikorupsi melalui pendekatan berbasis kesadaran dan partisipasi, pendekatan berbasis nilai, pendekatan berbasis kepatuhan, dan pendekatan manajemen risiko,” kata Stella.

Jangan Ajari Anak Korupsi di Bangku Sekolah
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, meminta Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan menghadapi krisis integritas siswa dan siswi sekolah sebagaimana yang dipaparkan oleh KPK. Dia mengingatkan, jika negara abai menata integritas sedari bangku sekolah, maka target Indonesia Emas 2045 terancam gagal.

“Problem integritas ini sangat serius karena menyangkut Indonesia Emas 2045. Cita-cita itu pasti akan kandas, jika tidak didukung oleh SDM yang berintegritas,” kata Ubaid saat dihubungi Tirto, Selasa (29/4/2025).

Ubaid meminta Prabowo mengucurkan anggaran untuk peningkatan pendidikan integritas. Dia mengungkap bahwa saat ini Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah hanya menikmati Rp57,6 triliun (7,9 persen) dari Rp724 triliun anggaran pendidikan 2025.

“Bahkan, dengan alasan efisiensi, dana minim itu kembali disunat menjadi Rp33,5 triliun,” katanya.

Ubaid menjelaskan, perlunya campur tangan presiden dalam menangani kasus integritas ini karena telah menjadi masalah sistemik yang terakumulasi sejak tahu sebelumnya. Dia menyoroti maraknya korupsi dana pendidikan yang hingga saat ini masuk ke dalam lima besar kasus di Indonesia.

“Ternyata penyelewengan dana pendidikan ini tidak hanya melibatkan aktor tunggal, tapi melibatkan banyak pihak terkait di institusi pendidikan,” katanya.

Tidak hanya berkaitan dengan keuangan, masalah korupsi pendidikan di Indonesia juga berkelindan dengan sistem kecurangan di sekolah yang dinormalisasi. Ubaid menyebut contek massal, joki tugas, dan plagiarisme yang melibatkan sivitas akademika hingga level pengajar tertinggi, seakan ada mafia akademik di dalam sekolah maupun kampus.

“Begitu pula banyak kasus plagiarisme di kampus-kampus besar dan melibatkan pejabat pula, tetapi tidak ada sanksinya, kalau pun ada hanya sangsi ringan dan menimbulkan protes dari masyarakat,” kata Ubaid.

Apabila kasus integritas ini dipandang sebelah mata, Ubaid menegaskan, maka para murid akan akan menirukan kasus korupsi yang saat ini sedang terjadi. Sehingga, korupsi di masa depan tidak bisa diharapkan untuk hilang.

“Jika anak-anak melihat banyak praktik kecurangan sejak dini di sekolah, mereka akan menormalisasi itu, jika sudah demikian ya jangan harap korupsi akan hilang di negeri ini,” kata dia.

Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menambahkan, tingginya angka menyontek di Indonesia menjadi cerminan bahwa pendidikan di Indonesia masih terlalu menitikberatkan keberhasilan siswa pada capaian akademik semata. Sementara nilai kejujuran dan tanggung jawab, menurut dia, hal itu belum sepenuhnya tertanam kuat dalam diri siswa maupun mahasiswa.

“Hal ini harus menjadi bahan evaluasi, bukan hanya pemangku kepentingan bidang pendidikan, tetapi bagi kita semua terhadap sistem pendidikan nasional, terutama dalam aspek pembentukan karakter, integritas, dan etika peserta didik,” kata Hetifah dikutip dari Antara.

https://tirto.id/agar-budaya-menyontek-tidak-dianggap-lumrah-ha8h#google_vignette

Comments are closed.