Ada Persoalan dalam Penyaluran KIP

0
684

Jakarta – Penyaluran Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang merupakan program prioritas pemerintahan Jokowi-JK masih ditemukan masalah. Salah satu persoalan adalah kurangnya keterlibatan publik, terutama untuk mengawasinya.

Koordinator Nasional Jaringan Pemerhati Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengungkapkan, dalam penyaluran KIP, pemerintah terkesan bergerak sendiri tanpa ada keterlibatan publik.

“Masyarakat harus aktif mengawasi. Pemerintah harus menyediakan akses bagi publik untuk ikut mengontrolnya,” kata Ubaid, baru-baru ini.

Ia juga mengatakan, pencairan dan distribusi KIP harus merata dan tepat waktu. Pasalnya, berdasarkan temuan JPPI selama kurun Juli 2017- Februari 2018, terdapat sejumlah laporan pengaduan masalah KIP. Dari 112 total pengaduan, 32 di antaranya terkait dengan pendistribusian yang tidak merata di daerah terluas, terdepan, dan tertinggal, serta wilayah marginal. Selain itu, 30 pengaduan karena distribusi KIP tidak tepat sasaran, 27 laporan penerima KIP sulit mencairkan dan, 10 laporan adanya keterlambatan, 8 pengaduan terkait data real time, dan tidak ada keterlibatan publik 5 laporan.

Secara terpisah, Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Mohammad Abduzen mengatakan, Program Indonesia Pintar (PIP) dinilai lebih pada upaya peningkatan akses terhadap pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu.

“Jika tujuan utama KIP ini berjalan secara baik, dapat berimplikasi pada pengurangan angka putus sekolah sehingga ada peningkatan APK (angka partisipasi kasar),” jelasnya.

Meski demikian, dia mengakui, PIP dan alokasi anggaran APBN 20% untuk pendidikan, belum efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Tanah Air. Pasalnya, masih terjadi tumpah tindih anggaran pendidikan. Oleh karena itu, dia mengusulkan adanya penataan kembali lembaga-lembaga pendidikan di bawah kementerian atau lembaga yang mengunakan anggaran pendidikan.

Guru Besar Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Rochmat Wahab berpendapat, PIP bisa menjadi salah satu solusi mengatasi persoalan siswa putus sekolah. Namun, dalam praktiknya harapan itu belum sepenuhnya terwujud.

Menurutnya, ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, alokasi dana untuk harus benar-benar diawasi pemanfaatannya, jangan sampai untuk menambah belanja keluarga. Kedua, besaran dana PIP belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan belajar anak berkebutuhan khusus, karena anggaran yang diperlukan untuk mereka relatif lebih besar.

“Perlu dipercepat pendirian sekolah inklusif sehingga anak bisa belajar di sekolah yang lebih dekat,” kata mantan rektor UNY ini.

Dia juga menyebutkan, anak putus sekolah tidak semata-mata diartikan berhenti dari partisipasi belajar, tetapi juga karena ketidakmampuannya mengikuti proses pembelajaran akibat layanan tidak bisa menjangkau anak tersebut. Untuk itu, PIP harus diperluas orientasinya untuk program-program remedial yang membuat anak bisa menikmati proses pembelajaran. “Dengan begitu akan terhindar putus sekolah,” ujarnya.

Rochmat juga mengatakan, PIP juga perlu memberi perhatian khusus kepada mereka yang berpotensi putus sekolah. Hal yang dilakukan antara lain mengalokasikan dana lebih besar untuk memberi bekal keterampilan tertentu sesuai dengan potensi dan kondisi siswa bersangkutan.

Sedangkan, penggiat pendidikan dari Universitas Paramadina, Totok Amin mengatakan, PIP dirancang untuk mengatasi kesulitan keluarga miskin dalam mendidik anak. Program ini menjadi bagian dari upaya pemerintahan Jokowi-JK mengatasi kesenjangan sosial.

Menurut Totok, PIP dapat menekan angka putus sekolah, tetapi sejauh ini masih kurang berhasil meningkatkan angka partisipasi belajar siswa. Sebab, mendorong anak-anak yang sudah telanjur putus sekolah untuk kembali ke sekolah tidak mudah.

“Sejauh ini Kemdikbud bersama pemda di seluruh Indonesia bekerja keras agar anak-anak di luar sekolah mau kembali ke sekolah. Banyak anak seperti ini yang tidak mau ke sekolah karena usianya sudah lewat, dan telanjur menikmati bekerja dalam usia sekolah,” papar Totok.

Sedangkan, Staf Ahli Komisi Nasional (Komnas) Pendidikan, Andreas Tambah menilai, PIP adalah program pendampingan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Maka, dengan adanya BOS, orangtua sudah tidak membayar uang sekolah. “PIP ini agar anak-anak mendapat subsidi untuk belanja keperluan sekolah. Dari manfaat keduanya, maka tidak ada alasan anak putus sekolah oleh karena biaya,” ujarnya.

Bahkan, dia menambahkan, berdasarkan data BPS partisipasi anak sekolah meningkat dan anak putus sekolah cenderung turun. “Saat ini, anak putus sekolah lebih banyak terdapat di daerah terpencil, di mana akses dan fasilitas sangat terbatas, khususnya untuk sekolah lanjutan seperti SMP dan SMA atau sederajat,” terangnya.

Peran Kementerian

Secara terpisah, anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI-P, Irine Yusiana Roba Putri mengungkapkan, melalui PIP, pemerintah menggenjot wajib belajar 12 tahun. Berdasarkan Permendikbud Nomor 19/2016, ada tiga tujuan PIP, yakni meningkatkan akses bagi anak usia 6-12 tahun untuk mendapatkan layanan pendidikan sampai tamat satuan pendidikan menengah, mencegah peserta didik dari kemungkinan putus sekolah (drop out), dan menarik siswa putus sekolah agar kembali bersekolah.

Menurutnya, tujuan itu terlihat belum tercapai. Sebab, tujuan itu sebenarnya adalah proyek besar yang harus melibatkan banyak pihak di aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Analisis tersebut juga didasarkan pada data dari Kemdikbud, evaluasi tentang pelaksanaan PIP di berbagai dapil DPR, hingga masukan dari pihak lain dan masyarakat luas. “Belum tercapai,” tandasnya.

Dia melihat, PIP salah satu strategi utama demi memastikan bonus demografi tidak berubah menjadi bencana. Sebagai contoh, berdasarkan data BPS, Angka Partisipasi Murni (APM) tingkat SLTA pada 2017 masih sekitar 60. Artinya, masih ada anak-anak usia SLTA yang tidak melanjutkan sekolah. Bonus demografi pada 2030 bisa jadi bahaya bila APM tak diperbaiki. “APM memang menjadi salah satu tujuan agenda bersama Kemdikbud dan Komisi X,” katanya.

Terkait langkah yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan APM, Irine berpendapat, berbagai kementerian harus mengambil langkah. Bila Kemdikbud sudah bekerja melalui PIP, maka Kementerian Sosial, Kementerian Agama, dan kementerian lain wajib mendukung terhadap keluarga yang kurang mampu. Pemerintah daerah juga membuat berbagai program.

“Karena pendidikan terkait erat dengan kesejahteraan keluarga dan faktor-faktor ekonomi lainnya, juga sosial budaya,” katanya.

Lebih jauh, ketika ditanya tanggapannya soal anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN yang belum mampu memperbaiki mutu pendidikan, Irine mengatakan memang harus ada yang berubah. Dia mendukung ide jika 20% dana pendidikan dikelola utuh oleh Kemdikbud dan Kemristekdikti.

Sementara di APBN 2018, telah ada alokasi dana pendidikan 20% sejumlah Rp 444,131 triliun. Dari angka ini, yang mendapat alokasi terbesar adalah Kementerian Agama sebesar Rp 52,7 triliun, diikuti Kemenristekdikti sebesar Rp 40,4 triliun, dan Kemdikbud sebesar Rp 40,1 triliun. Menurutnya, Kemdikbud sebagai aktor utama pendidikan perlu memegang peran utama. Karena basis data yang paling luas juga dari kementerian itu. “Dengan demikian, perencanaan dan pelaksanaan akan terjadi dalam fokus dan standar yang sama. Ini lebih susah jika terbagi di beberapa kementerian dan lembaga,” tandas Irine.

Leave a reply