
Masalah Pendidikan Indonesia Disepelekan dengan Hanya Meributkan Penjurusan SMA
Siswa di tingkat SMA akan kembali menggunakan sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa mulai tahun ajaran 2025/2026 alias tahun depan. Kebijakan ini akan menggantikan sistem fleksibel Kurikulum Merdeka yang sebelumnya digagas oleh Menteri Nadiem Makarim.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menegaskan kebijakan ini bukan bentuk penolakan terhadap langkah menteri sebelumnya, melainkan bentuk penyesuaian terhadap kebutuhan lintas jenjang pendidikan. Nantinya, kebijakan baru tersebut akan diformalkan melalui peraturan menteri baru, sekaligus mencabut Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 yang menghapus sistem penjurusan di jenjang menengah atas.
Kebijakan Mendikdasmen Abdul Mu’ti menimbulkan reaksi beragam. Banyak yang setuju jika sistem penjurusan di tingkat SMA dikembalikan, seperti yang dituturkan Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi.

Ia mendukung langkah ini karena menurutnya siswa perlu memiliki ilmu pengetahuan yang baik sebelum mendalami ilmu tertentu.
“Harapan agar siswa menguasai semua ilmu itu baik, tapi jika tidak siap yang terjadi malah siswa tidak mendapatkan ilmu apa-apa atau hanya sedikit,” kata Unifah.
Patokan Peta Jalan Pendidikan Jangka Panjang
Namun, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji menuturkan pendidikan Indonesia seharusnya berpatokan pada peta jalan pendidikan jangka panjang, bukan malah gonta-ganti kebijakan yang sesuai dengan selera penguasa.
“Soal menghidupkan kembali penjurusan di tingkat SMA ini kan sebenarnya hanya masalah teknis. Padahal poinnya adalah kenapa kebijakan pendidikan selalu gonta-ganti sesuai selera penguasa, serta tanpa hasil evaluasi yang berdasarkan data,” ucap Ubaid saat dihubungi VOI.
“Mestinya kita punya peta jalan pendidikan jangka panjang, misalnya 20 tahun. Jangan sampai kaya sekarang, ganti menteri ganti kebijakan. Pasti enggak ada dampaknya untuk pendidikan,” imbuhnya.
Ubaid menambahkan, jika berpegang pada peta jalan pendidikan, maka kebijakan seharusnya tidak berubah meski menterinya berganti orang. Atau dengan kata lain, menteri baru hanya melanjutkan apa yang sudah dibangun.
“Jadi kita bisa mengukur misalnya lima tahun Nadiem sudah sampai mana, maka Pak Abdul Mu’ti melanjutkan, kan begitu. Nanti diperhatikan dia sudah sampai tangga ke berapa menuju milestone yang dirancang itu, untuk dilanjutkan lagi,” kata Ubaid.
“Tapi ini kan enggak, kesannya maju mundur,” ujar Ubaid menegaskan.
Indonesia memiliki masalah yang lebih serius daripada sekadar meributkan kembalinya sistem penjurusan di tingkat SMA. Entah itu penjurusan atau peminatan, yang digagas Nadiem Makarim, sebenarnya di lapangan tidak memiliki banyak perbedaan.
Masalah yang lebih serius justru tidak tersentuh dengan hanya gonta-ganti kebijakan. Di antaranya adalah soal survei yang menunjukkan 80 persen mahasiswa di Indonesia mengaku salah jurusan.
Dan setelah lulus pun, kata Ubaid, 80 persen pekerjaan mereka tidak sesuai dengan prodi yang dipelajari di pendidikan tinggi.
“Jadi masalah di Indonesia sebenarnya tidak sesepele soal peminatan atau penjurusan. Ada masalah lebih serius yang mestinya lebih dulu dipecahkan,” ucapnya.
Sarana dan Prasana Harus Sama
Ketua Umum Federasi Serikat Guru Indonesia Fahmi Hatib mengatakan Mendikdasmen Abdul Mu’ti membuat keputusan yang tergesa-gesa. Kurikulum Merdeka yang diinisiasi oleh Nadiem Makarim belum kelihatan hasilnya, sehingga tidak ada alasan kuat untuk mengubahnya lagi.
“Biasanya pergantian kurikulum itu setiap sepuluh tahun, ini belum sampai tiga tahun sudah ganti lagi. Di sekolah saya mengajar saja belum ada lulusan dari Kurikulum Merdeka,” kata Fahmi.
Tapi kalau pemerintah benar-benar serius ingin menghidupkan kembali sistem penjurusan di tingkat SMA, ia berharap pelabelan atau favoritisme di salah satu jurusan dihilangkan.
Dan yang terpenting bagi Fahmi adalah meningkatkan kualitas guru serta menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh ketiga jurusan yaitu IPA, IPS, dan Bahasa.

Ia berkaca pada penerapan penjurusan di tahun-tahun sebelumnya, di mana mayoritas sekolah lebih mengutamakan sarana-prasarana berupa laboratorium untuk jurusan IPA. Hal ini memberi kesan seolah-olah hanya IPA yang butuh laboratorium.
“Padahal semestinya IPS juga dibuatkan lab khusus. Begitu juga Bahasa agar mereka memahami multifungsi bahasa,” Fahmi menerangkan.
“Ini sebagai bukti bahwa kami tidak dijadikan kelinci percobaan, mengetes-ngetes kebijakan,” pungkasnya.