
Kritik Klaim Prabowo tentang Keberhasilan MBG, JPPI: Pemerintah Sepelekan Keselamatan Nyawa Anak
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengkritik klaim Presiden Prabowo Subianto yang menyebutkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah berhasil 99,9 persen, karena hanya 0,0007 persen penerima keracunan.
JPPI menilai klaim tersebut menunjukkan pemerintah sedang menormalisasi MBG yang amburadul, sekaligus menyepelekan keselamatan nyawa anak. Mereka juga menilai klaim itu disampaikan sembari menyebut kasus keracunan sebagai hal “masih dalam batas ilmiah”.
Presiden, menurut JPPI, tampaknya lupa bahwa di balik angka itu ada ribuan anak yang keracunan dan keselamatannya terancam. Bahkan, jumlah korban keracunan sama sekali tidak mencerminkan realitas.
Nyatanya, banyak sekolah dipaksa menandatangani surat pernyataan agar tidak mengungkapkan kasus keracunan. Akibatnya, kasus-kasus nyata justru hilang dan sengaja ditutupi.
“Kalau angka ditampilkan tapi fakta disembunyikan, itu bukan keberhasilan, tapi kegagalan yang sengaja dimanipulasi,” tegas Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI dalam siaran pers.
JPPI mencatat, sejak bulan September 2025 hingga kini, laporan korban keracunan tiap pekan mencapai ribuan. Periode 13-19 Oktober 2025, korban keracunan MBG tercatat sebanyak 1.602 anak. Korban pada periode itu mengalami peningkatan dibanding pekan sebelumnya, 1.084 anak.
Jika ditotal, jumlah korban per 19 Oktober 2025 mencapai 13.168 anak. Pada pekan ini, JPPI mencapat lima provinsi dengan korban keracunan terbanyak adalah Jawa Barat 549 korban, Daerah Istimewa Yogyakarta 491 korban, Jawa Tengah 270 korban, Sumatera Utara 99 korban, Nusa Tenggara Barat 84 korban.
“Sekali lagi saya tekankan, ini hanya data berdasarkan laporan, artinya yang tidak dilaporkan dan tidak terendus oleh publik, pasti lebih banyak lagi.
Harusnya, BGN melindungi pelapor dan pengungkap kasus keracunan, bukan malah menakut-nakutinya dengan mengintimidasi harus menandatangani surat pernyataan dan merahasikan kalau ada kasus keracunan,” ucap Ubaid.
JPPI menilai ada yang janggal dengan surat pernyataan yang harus ditantangani oleh sekolah. Isi surat pernyataan di berbagai sekolah hampir sama, yaitu memuat klausul kerahasiaan jika terjadi keracunan MBG.
“Saya menduga dan mencurigai ini bukan inisiasi dari SPPG, tapi ada format template yang mengkomando supaya sekolah-sekolah mau teken perjanjian dengan SPPG,” ujar Ubaid menambahkan. Fakta di lapangan justru menunjukkan MBG masih kacau balau di hampir semua aspek.
Pertama, MBG tak punya dasar hukum. JPPI memandang program tersebut terkesan asal-asalan. Sudah menghabiskan dana triliunan, tetapi MBG tidak punya dasar hukum. Draf Perpres tentang MBG, yang dijadikan dasar hukum program, masih dibahas dan belum final. Ironisnya, menurut JPPI, publik tidak tahu bagaimana isi draf perpres itu hingga kini. Masyarakat sipil juga tidak dilibatkan dalam pembahasannya.
“Perpresnya belum jadi. Prosesnya tertutup, pelaksanaannya semrawut, tidak ada transparansi, tapi presiden sudah klaim berhasil. Ini omon-omon apa lagi?,” ujar Ubaid.
Kedua, dana senilai 70 triliun dikembalikan ke negara, tetapi ada banyak kasus SPPG tutup karena belum dibayar. Keputusan BGN yang kembalikan 70 triliun ke negara, bukanlah sikap patriot bangsa seperti yang disampaikan lresiden.
Tetapi, hal itu menunjukkan buruknya perencanaan dan minimnya akuntabilitas. Keputusan itu, menurut JPPI, juga aneh karena banyak SPPG yang ternyata saat ini terpaksa tutup karena dana yang belum cair.
Pada Oktober saja, JPPI menerima laporan beberapa SPPG tutup sementara, antara lain di Lebak, Sleman, Gunung Kidul, Wonosobo, Jepara, Polewali Mandar, dan Denpasar.
“Dapur-dapur di daerah ini kan yang baru terendus publik, yang luput dari pantauan dan tidak masuk laporan, tentu diduga kuat sangat banyak,” ucap Ubaid.
Ketiga, JPPI menduga adanya bau korupsi dan konflik kepentingan yang tercium menyengat. Konflik kepentingan antara pejabat pelaksana, pengawas, penegak hukum, dan juga pihak penyedia dinilai sangat marak.
Hal tersebut jelas membuka ruang korupsi dan kolusi. Belum lagi, soal kasus pemotongan harga per porsi dan juga ruang-ruang gelap penyelewengan dana antara pihak SPPG, yayasan, dan Mitra MBG.
“Permainan kotor di antara SPPG, yayasan, dan mitra MBG sudah jadi rahasia umum. Bau korupsinya menyengat ke mana-mana. Pejabat pelaksana, pengawas, bahkan aparat penegak hukum terlibat konflik kepentingan yang saling melindungi. Ini bukan sekadar salah urus, tapi sudah masuk wilayah kolusi yang sistemik,” kata Ubaid.
Karena pelaksanaan yang masih amburadul, masih banyak anak yang kekurangan gizi, yang harusnya didahulukan dan diperioritaskan, ternyata malah banyak belum mendapatkan program tersebut.
Musababnya, dapur MBG masih terpusat di kota-kota, belum sampai ke daerah-darah dengan angka ketercukupan gizinya masih di bawah rata-rata, apalagi di darah 3T yang sangat membutuhkan juga belum menikmati MBG ini.
Sebaliknya, anak-anak orang kaya di kota-kota malah kebagian duluan. “Bagi saya, klaim 99,9 persen sukses hanyalah propaganda politik yang menipu publik,” ujar Ubaid.
JPPI menegaskan, MBG bukan sekadar soal porsi makanan, tapi soal keselamatan dan hak anak atas pangan bergizi yang aman. Karena itu, JPPI mendesak pemerintah menghentikan sementara penyaluran MBG, sampai ada aturan yang jelas dan semua wilayah dan SPPG memenuhi standar keamanan pangan.
Mereka juga meminta pembentuk tim investigasi independen yang melibatkan masyarakat sipil, tenaga kesehatan, dan pihak sekolah untuk mengungkap kasus keracunan dan menindak pelaku kelalaian. Sekolah dan guru juga harus dilindungi dari intimidasi.
JPPI mendesak penghentian praktik pemaksaan surat kerahasiaan dan lindungi pelapor kasus keracunan, dugaan korupsi, dan juga paket MBG yang tidak bergizi. Di sisi lain, JPPI mendesak pembukaan dan pengesahan Perpres MBG secara transparan, dengan melibatkan masyarakat sipil dalam pembahasan dan pengawasannya.
JPPI mendesak pula audit dana dan rantai distribusi MBG, agar program bebas dari korupsi, konflik kepentingan, dan manipulasi data. “Kalau pemerintah serius ingin menyehatkan anak bangsa, hentikan propaganda angka, benahi sistemnya dari hulu ke hilir,” ucap dia.
“Keberhasilan sejati bukan ketika Presiden puas dengan statistik, tapi ketika setiap anak Indonesia benar-benar makan bergizi, aman, dan bebas dari kebohongan,” kata Ubaid lagi.













